Jakarta, UrbannewsID.com | Fei, seorang mahasiswi Ilmu Budaya Universitas Indonesia sedang mengerjakan tugas kampus mengenai The Old Batavia bersama teman kuliah yang lainnya. Saat ia mencari bahan dan riset di kota tua, ia diperhatikan oleh seorang gadis cantik turunan Belanda – Jepang yang kemudian di kenal dengan nama Saartje Specx dipanggil Sarah. Sosok Sarah kemudian menghilang dari pandangan Fei, manakala dering iphone membuyarkan perhatiannya akan sosok Sarah itu. Fei pun bertanya kepada temannya, apakah ada yang melihat Sarah? Namun temannya menjawab, tidak.
Pertemuan Fei dengan Sarah, membuat dirinya tidak dapat menghilangkan pertanyaan dalam fikirannya akan apa dan siapa sosok perempuan muda cantik yang memperhatikannya di Gedung Fatahillah yang dahulu bernama Stadhuis itu. Disisi lain, Fei memiliki seorang pacar bernama Chiko yang sangat posesif. Hubungannya sedang berada pada titik terendah, karena Chiko ingin seutuhnya menguasai serta mengatur Fei. Hal itu membuat Fei menjadi terganggu dan terbebani, dan perlahan tapi pasti rasa cinta dan sayangnya terhadap Chiko mulai memudar. Namun, sebaliknya Chiko tidak ingin kehilangan Fei.
Suatu hari, Fei diminta menemani ayahnya, Wisnu, seorang pengusaha, ke China. Partner Wisnu adalah seorang pengusaha sukses China keturunan Indonesia bernama Danny Wong yang berusia 40 tahun. Di Shanghai Fei mengenal Danny Wong lebih dekat, dan Fei mengetahui bahwa Ayahnya dan Danny Wong akan memaksimalkan perkebunan sawit mereka di Pulau Sumatera, sekaligus memaksimalkan pabrik pengolahan minyak sawitnya. Danny Wong ditemani oleh Fei meninjau perkebunan sawit dan pabriknya di Sumatera.
Pertemuan demi pertemuan membuat Fei dan Danny Wong mulai semakin dekat, walau usia mereka berbeda agak jauh, namun hati mereka bicara berbeda. Kembali ke Jakarta, Fei yang masih harus menyelesaikan tugas kampusnya, kembali bersama beberapa temannya mengunjungi kota tua Batavia sebagai pusat kajian mereka. Disana Sarah kembali muncul memandang Fei dengan senyum memikat. Fei merasa bahwa ada satu kekuatan, sepertinya Sarah memintanya untuk mendekat. Fei tanpa sadar kakinya melangkah mendekati Sarah. Dengan senyum yang lembut tulus memikat, Sarah lalu menyentuh bagian dada Fei, dan seketika Fei menembus lorong waktu menuju Batavia pada tahun 1628.
Sarah adalah putri hasil hubungan gelap dari seorang Perwira Tinggi VOC bersama wanita Jepang saat Perwira Tinggi VOC itu bertugas disana. Sarah dibawa oleh ayahnya ke Batavia dan tinggal di rumah Jan Pieterzoon Coen sang Gubernur Jenderal. Di Batavia Sarah yang tumbuh remaja dan cantik membuat beberapa Perwira VOC baik muda maupun tua tergila – gila, namun dalam perjalanannya hati Sarah hanya tertambat kepada seorang Perwira muda VOC, salah seorang pengawal J.P. Coen yang bernama Pieter C. Pada masa – masa itu, hubungan beda ras dan beda strata tanpa ikatan perkawinan adalah sesuatu yang tabu, dan jika ketahuan maka dianggab hubungan terlarang sebagaimana perselingkuhan, dan hukumannya adalah Mati.
Sementara disisi lain, Chiko yang semakin merasa bahwa Fei berupaya menjauh dan menghindar darinya, tidak dapat menerima. Terlebih – lebih manakala Fei mengatakan bahwa hubungan mereka sebaiknya disudahi dan putus. Chiko mulai kelihatan perangai aslinya yang tidak baik, dan memang sesungguhnya selain childish, Chiko tanpa diketahui oleh teman – teman kampusnya adalah bagian dari sindikat yang seringkali memeras banyak perusahaan. Dengan kata lain Chiko adalah anggota dari sindikat Cyber Crime.
Kisah diatas adalah sepenggal cerita sebuah film layar lebar berjudul “Stadhuis Schandaal”, yang sedang dipersiapkan untuk diproduksi oleh Adisurya Abdy, setelah vakum selama 14 tahun. Adisurya yang kini menjabat Kepala Sinematek Indonesia, fillm pertamanya ini akan melakukan pengambilan gambar pada kawartal ketiga November 2017 di kawasan Kota Tua Jakarta, terutama di Musium Fatahillah, dan di Shanghai-Cina. Adisurya Abdy selaku produser sekaligus juga sutradara, bersama timnya membangun sebuah set khusus berupa tangsi dan benteng Belanda untuk keperluan produksinya.
Menurut Adisurya, sebuah film dengan setting pada kurun waktu tertentu, memang membutuhkan kosep artistik yang menggambarkan situasi dan kondisi saat peristiwa terjadi. Namun untuk menggambarkan setting yang dibutuhkan, tidak semudah mewujudkan cerita di dalam tulisan, perlu perwujudaan fisik yang dibuat sesuai dengan konteks cerita. Jika kebutuhan artistik tidak dapat dipenuhi dengan barang-barang, bangunan, lingkungan yang ada, pembuat film harus membuat tiruannya. Maka, set khusus itu pun dibangun di atas tanah seluas 1.500 m2 milik PT. Inter Studio, di kawasan Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Film “Stadhuis Schandaal” dalam penggambarannya ada dua kurun waktu yang akan ditampilkan, yakni setting jaman kolonial dan kekinian (modern). “Di jaman kolonial inilah yang paling sulit. Kita sudah mencoba mencari bangunan-bangunan sisa peninggalan Belanda yang ada di Indonesia, tetapi tidak sesuai dengan kriteria dan mekanisme kerja yang akan kita lakukan. Jadi lebih baik kita membangun set sendiri yang sesuai dengan kebutuhan cerita, dan kerjanya pun lebih bebas tanpa diburu waktu serta segala aturan,” pungkas Adisurya Abdy, saat syukuran yang menandai dimulainya proses produksi Stadhuis Schandaal di Jakarta, Jumat (17/11).
Film Stadhuis Schandal yang cerita dan skenarionya ditulis sendiri oleh Adisurya Abdy, selaku produser Omar Jusma, dan diproduksi oleh PT. Xela Film. Menghadirkan deretan pemain, yaitu; Tara Adia (Saartje Spech / Sarah), Michale Lee (Pieter Cortenhoff), Amanda Rigbi (Fei), Rensi Millano (Samina), Volland Humonggo (Danny Wong), George M Taka (JP Coen), Roweina Umboh (Eva Mert), Iwan Burnani (Jaques Spech), Septian Dwicahyo (Hans), Lady Salsabila (Mila), Stephanie Adi (Rika), Ati Cancer (Bibi), Bangkit Sanjaya (Pelayan misterius), Kiki Amalia (Via), Anwar Fuadi (Abimanyu), Yanto Tampan (Anak buah Hans), Cindy (Tasya), Andika Ariesta (Aby), Iqbal (Rayman), Ricky Wala (Babam) dll.|Edo (Foto Nur Ichsan)