Urbannews | Konferensi Musik Indonesia (KMI) 2025 telah resmi ditutup. Di balik kemeriahan diskusi dan antusiasme peserta, konferensi ini meninggalkan gema harapan yang merambat perlahan—bagai nada panjang yang menggantung di udara, belum benar-benar jatuh ke bumi.
Wakil Menteri Kebudayaan, Giring Ganesha, menyampaikan serangkaian rekomendasi hasil konferensi: mulai dari pembentukan Tim Kerja Bersama lintas sektor, revisi kurikulum musik nasional, reformasi tata kelola royalti, insentif pajak bagi pekerja seni, pembangunan venue bertaraf internasional, hingga penyusunan pedoman penggunaan AI dalam musik. Semua tampak seperti partitur indah—penuh nada-nada perubahan.
Namun, seperti konser yang hanya berlangsung sehari, semangat itu rawan menjadi gema kosong jika tidak ditindaklanjuti. Sejarah panjang ekosistem musik Indonesia menyimpan terlalu banyak janji yang mengendap, dan terlalu sedikit yang benar-benar dimainkan. Rekomendasi demi rekomendasi kerap menguap dalam kabut birokrasi yang lamban dan tafsir regulasi yang tak seragam.
Pembentukan Tim Kerja Bersama, misalnya, adalah langkah strategis. Tapi pertanyaannya: sejauh mana tim ini mampu menembus sekat-sekat kelembagaan dan ego sektoral yang selama ini menjadi penghalang? Di negeri di mana banyak tim dibentuk hanya sebagai formalitas, publik berhak meragukan komitmen, bukan hanya niat.
Revisi kurikulum seni musik—yang diharapkan menjadi upaya melawan dominasi nilai-nilai Barat sejak pendidikan dasar—tampak ideal. Namun realitas menunjukkan bahwa perubahan kurikulum adalah perkara politis, bukan hanya teknis. Tanpa keberpihakan yang kuat dari Kementerian Pendidikan dan partisipasi guru musik di akar rumput, revisi ini berisiko menjadi wacana tahunan belaka.
Reformasi sistem royalti juga menjadi titik krusial. Industri musik Indonesia telah lama dikeluhkan karena lemahnya perlindungan terhadap hak cipta dan ketimpangan dalam distribusi royalti. Tapi ketika regulasi masih tumpang tindih, dan lembaga pengelola belum bersinergi, bagaimana mungkin keadilan bisa dibunyikan?
Masuknya AI dan artificial streamer ke dalam diskusi KMI 2025 menunjukkan kesadaran akan tantangan zaman. Namun respons negara kerap datang terlambat. Tanpa regulasi cepat dan inklusif, musisi bisa jadi hanya menjadi penonton dalam panggung yang kini bisa dimainkan oleh algoritma.
Rekomendasi lainnya—seperti insentif pajak, pembangunan venue musik, diplomasi budaya lewat pertukaran seniman, dan penguatan sinergi dengan pariwisata—adalah nada-nada indah. Tapi indah saja tak cukup. Ia harus digubah dalam bentuk kebijakan yang terukur, bukan sekadar puisi yang dibacakan saat konferensi.
Harapan Tak Boleh Mati
KMI 2025 telah menjadi forum penting yang mempertemukan suara-suara dari berbagai sudut industri musik. Tapi pekerjaan rumah sejatinya baru dimulai. Harapan tak boleh mati, namun harus dibarengi dengan sistem kerja yang terukur, partisipatif, dan berkelanjutan.
Sebab seperti musik, kebijakan yang baik bukan hanya tentang komposisi—melainkan juga tentang eksekusi. Indonesia tak kekurangan gagasan, yang kurang adalah political will untuk mengubah partitur menjadi pertunjukan yang nyata.
Dan pada akhirnya, konferensi ini akan benar-benar berarti bila ia tak hanya menjadi ajang selebrasi, melainkan langkah pertama menuju panggung besar di mana musik Indonesia berdiri tegak—berdaulat, adil, dan tak lagi sunyi.
Foto: dok.Nini Suny


