Urbannews | Malam di Glamz Antasari, Senin (17/11), bukan sekadar sebuah panggung amal. Ia adalah ruang kecil yang berusaha menampung sesuatu yang jauh lebih besar dari kapasitasnya: cinta, kenangan, kepedihan, dan seruan halus yang selama ini ditahan—bahwa dua musisi besar, Doddy Katamsi dan Eki Lamoh, tengah berjuang, dan bangsa ini seharusnya tidak membiarkan mereka berjuang sendirian.
Di antara gemerlap lampu yang terasa terlalu panas, kita sebetulnya sedang menyaksikan satu ironi lama yang tak kunjung berubah: negara kerap hadir ketika memungut pajak, tetapi sering terlambat ketika para musisi—pewaris budaya, penjaga ingatan kolektif—membutuhkan pelukan perlindungan.
Di panggung yang dulu mereka hidupkan dengan suara, kini mereka menunggu uluran tangan yang idealnya datang juga dari sistem, bukan hanya dari sesama.
Sejak senja turun perlahan, orang-orang datang bagai arus yang tak mengenal jeda. Mereka membawa niat sederhana namun tulus: berpartisipasi, berdonasi, menjadi bagian dari ingatan yang tidak ingin hilang. Namun semangat besar itu segera menabrak kenyataan—ruang yang terlalu sempit, alur yang tersendat, dan kerumunan yang kian padat. Seperti negeri yang tergesa-gesa membangun mimpi, tetapi lupa memperhitungkan tempat di mana mimpi itu harus berdiri.
Musisi lintas generasi naik ke panggung dengan energi yang seolah memeluk suasana. Ada yang bernyanyi pelan, menurunkan doa lewat nada; ada yang menghentak lebih tegas, seakan menolak tunduk pada nasib buruk yang menimpa dua sahabat mereka. Di tangan-tangan mereka, musik kembali menjadi bahasa yang paling jujur—bahasa yang mampu menyatukan luka dan harapan dalam satu tarikan napas.
Dan meski ruang sesak, dan udara terasa berat, justru di situlah tampak sesuatu yang tidak bisa dibeli: keguyuban. Orang yang tak saling kenal saling menepuk bahu, bergeser menawarkan tempat, berbagi kisah kecil tentang lagu-lagu yang pernah menemani masa mudanya. Ini adalah malam ketika solidaritas tidak perlu diumumkan, karena ia hadir dengan caranya sendiri—di mata yang berkaca, di senyum yang menahan haru, di ribuan langkah yang rela berdesakan.
Namun di balik kehangatan itu, ada pesan yang lebih besar, lebih tajam, dan tak boleh lagi dipendam: Jika musisi harus selalu diselamatkan oleh musisi lain, lalu apa fungsi negara yang seharusnya hadir sebagai penopang kebudayaan? Jika panggung kecil ini bisa memadat oleh kepedulian, mengapa kebijakan besar tak bisa menyediakan tempat yang lebih luas bagi kesejahteraan seniman?
Charity night ini mungkin tidak sempurna secara teknis. Tetapi ia sempurna sebagai cermin—cermin yang memperlihatkan betapa kuatnya keluarga musik menjaga anggotanya, dan betapa lemahnya sistem negara menjaga mereka yang selama ini menghidupkan denyut budaya nusantara.
Pada akhirnya, ketika lampu panggung padam dan suara terakhir meredup, ada sesuatu yang tetap menyala: kesadaran bahwa solidaritas selalu menemukan jalannya, bahkan ketika negara terlambat melangkah.
Dan mungkin, dari malam yang sesak itu, lahirlah doa baru: agar suatu hari nanti, negara tidak lagi hadir sebagai penonton, melainkan sebagai penjaga yang memahami bahwa musik bukan hanya hiburan—melainkan bagian dari jiwa bangsa yang tak boleh dibiarkan merapuh sendirian.
Foto: dok.uthieproject




