Urbannews | Menulis itu penting, karena dengan adanya tulisan bisa menjadi sebuah bukti nyata telah terjadi sesuatu hal yang penting di suatu masa. Pengetahuan suatu sejarah bisa diketahui oleh masyarakat berkat adanya tulisan-tulisan yang menjelaskannya.
Nietzsche, filosof Jerman abad ke-19, pernah mengatakan, kurang lebih, bahwa setiap penyair (sesungguhnya: setiap penulis) tidak pernah merasa puas dengan realitas. Dan karena ia tidak puas dengan realitas, ia berusaha mengubah realitas, menjadikannya lebih tertahankan, lebih bisa diterima, dan lebih memuaskan baginya—dan mungkin bagi setiap orang yang lain.
Seperti Novel “Festival Kesunyian”, setebal 511 halaman, dan terdiri dari 62 bab, karya Ahmad Sobirin, atau Asob Ahmed, betapa seriusnya si empunya menukil realitas yang terjadi dengan even seperti Prambanan Jazz Festival, JogjaRockarta Festival, Batik Music Festival, Mocosik Festival, serta Borobudur Symphony, dimana penulis ikut terlibat di dalamnya.
Di novel karya pria kelahiran Grobogan, Jawa Tengah, 13 Juni 1976 ini, cerita ihwal berbagai latar pertunjukan dan konser di tempatnya bekerja, Rajawali Indonesia Communication, promotor musik di Jogjakarta, mengalir tanpa beban. Bahkan bisa menjadi semacam panduan, atau pintu masuk untuk memahami persoalan dan dinamikanya saat mengadakan sejumlah konsernya. Seperti saat ini, dalam gelaran Prambanan Jazz Festival 2022, yang telah memasuki angka sewindu.
Sebagaimana dituliskan Asob Ahmed; “Tidak ada senja di festival musik mana pun yang bisa menandingi senja yang mengiringi alunan komposisi nada yang dipentaskan di depan mahakarya candi Prambanan. Tidak ada sepasang kekasih yang akan melewatkan momen romantis itu tanpa bergandengan tangan. Pun, tidak ada hati paling nestapa di dunia yang tidak diurapi penghiburan saat menyaksikan senja ajaib di Prambanan Music Festival”.
Asob Ahmed dengan sangat jernih sekali menjelaskan tentang novelnya. “Ini hanya kisah sehari-hari biasa dari beberapa orang biasa yang terlibat dan bersinggungan dengan salah satu festival musik terbesar di Indonesia. Kisah yang berjalan pelan selama tujuh hari mulai persiapan hingga pelaksanaan festival, dan berakhir dengan peristiwa yang akan mengubah jalan hidup semua tokohnya untuk selamanya.
”Bermula dari beberapa anak kelas enam SD Negeri Kraton yang menggunakan gadget secara tidak bertanggung jawab, konflik cepat menular antar orang tua murid, keributan serius menjadi berlarut larut, dan menyebabkan bencana yang tidak terduga. Pada akhirnya, para orang tua yang seharusnya menikmati konser musisi-musisi terbaik dalam negeri dan beberapa musisi legendaris dunia di depan mahakrya candi Prambanan, justru terlibat pertengkaran sengit, hingga puncaknya menyebabkan seseorang nyaris mati. Lalu, siapa yang harus bertanggung jawab?”.
Ya, ini novel sederhana, yang ditulis dengan tingkat ketekunan yang teruji, atau enam tahun. Sehingga menghasilkan karya yang sungguh sungguh. Bukan kaleng-kaleng. Sebagaimana cerita kehidupan di dalamnya. Persis yang dikatakan Asob Ahmed; “Kehidupan tentulah adil, seolah-olah mempunyai tangan-tangan rahasia yang bekerja tak kasat mata, membenarkan segala hal yang terasa salah dan ganjil”.
Its excellent as your other blog posts : D, appreciate it for posting.