Urbannews | Ketika pelukis menikah dengan seni, mereka beranak lukisan dan kurator menjadi bidannya. Ketika musisi menikah dengan kehidupan, mereka beranak karya namun tanpa bidan. Sebab tali cintanya memang begitu.
Namun, ada satu hal yang sering dilupakan oleh yang merasa punya kemampuan berkarya. Mereka kerap menjadi ragu-ragu atau malah tidak melakukan apapun, karena omongan orang yang membuat mereka nglokro. Saya belajar satu hal: “hancurkan” apapun yang melemahkan, tetap kreatif dengan membuat karya apapun yang kita suka. Pemikir berpikirlah, penulis menulislah, dan musisi berkaryalah dengan musikmu. Titik.
Berkarya dalam ruang kreatif yang saya maksud adalah keberanian musisi untuk mencoba sesuatu yang baru, tak mengapa terkesan nyempal tapi asik. Kadang ide-ide kreatif seperti “menabrak pakem” yang tertuang dalam buku. Sedikit nyeleneh, nekat atau main tabrak tak mengapa. Musisi memang bertebaran, tak semua jadi pengekor, karena tidak sedikit yang jadi trendsetter.
Seperti grup musik The Chasmala yang dimotori dua kakak beradik yakni Denny Chasmala (gitar), dan Irfan Chasmala (keyboard), serta vokalis muda tidak serahim Pieter Anroputra, sangat menarik perhatian. Mereka menawarkan rangkaian cerita dalam balutan nada dan untaian cinta berkat pengalaman para personilnya, khususnya dalam bermusik, untuk pengayaan katalog musik Indonesia.
The Chasmala mencoba menawarkan dan menyuguhkan spektrum warna-warni di 7 komposisi lagunya yang bertajuk; Kejadian (TST), Ikrar, Berharap Tak Berpisah, Sakit Bila Dipendam, Pria Idaman, Dua-Duanya, dan Positive. Karya-karya The Chasmala yang di produse label My Music tersebut, memang belum secara resmi di publish ke umum (masyarakat), tapi beberapa awak media, Senin (27/5) di Kantor My Music, bilangan Fatmawati, Jakarta Selatan, sangat beruntung bisa mendengarkan semua karya lagunya.
Acara yang dimotori Seno M Hardjo serta dipandu Tina dari My Music ini, perjumpaan personil The Chasmala, pihak My Music, dan awak media lebih pada hearing session. Dimana, setiap jurnalis yang hadir diminta tanggapannya atau menilai karya-karya yang disajikan. Layaknya makanan, kami awak media diminta untuk icip-icip dan kemudian disuruh menilai sekaligus pula masukan makanan mana yang enak, kurang enak atau kurang gizi, juga favorit tentunya.
Terus terang, bicara soal karya, saya tidak memiliki keberanian untuk menilai, karena prinsipnya karya lagu itu untuk dinikmati. Paling-paling cuma sebatas bilang ‘nggak enak’ lagunya, itupun jika pas di dengarkan vokal dan musik tidak sinkron alias fals. Karena menurut saya, berkarya itu sudah seperti “wahyu” yang diturunkan kepada musisi atau pencipta lagu untuk dibagikan kepada pencinta musik dengan niat baik, tulus dan positif.
Kalau sekedar masukan atau catatan, Saya memilih bagaimana karya The Chasmala ini lebih banyak diperdengarkan kebanyak orang, dan ini jadi PeeR-nya pihak label. Berikutnya, karena musik merupakan refleksi dari sebuah perjalanan spiritual penciptanya, dimana dalam setiap komposisi yang dibuat terkandung ide atau gagasan, pemikiran, perenungan, emosi, keprihatinan, serta gejolak jiwa. Maka, sang vokalis harus mampu mendeliver setiap rasa dan makna yang tersirat juga tersurat dengan baik.
Sang vokalis atau penyanyi harus paham isi cerita lagu itu sendiri, dan harus mampu serta menguasai setiap bait lirikasinya, agar sampai atau bisa me’resonansi dengan baik kependengarnya. Sang vokalis kudu mampu bersenyawa dengan lagunya, seperti halnya pendongeng atau petutur yang acapakali memberi kelenturan maupun tekanan di bait mana yang menyiratkan kesedihan, kekecewaan, patah hati, termasuk riang gembira. Sehingga pendengar bisa langsung tanpa aba-aba ikut terhanyut merasakan dan tersentuh hati juga emosinya begitu mendengarkan..