Satu Kata, Plong!

Movie358 Dilihat

Urbannews | Menjadi anggota juri Festival Film Wartawan Indonesia (FFWI) seperti memiliki sebuah kursi dan suara. Tentunya suara tersebut harus digunakan sepenuh-penuhnya untuk memberikan dukungan, vote, kepada film yang benar-benar layak dan tepat di kompetisi.

Melihat, juga menilai sebuah film tidak bisa sepotong-sepotong tapi menyeluruh dan utuh. Karena, begitu banyak unsur atau elemen penyerta di dalamnya yang saling keterkaitan, sehingga sebuah film itu di cap baik atau bagus. Memang tidak ada yang 100% sempurna, minimal separuhnya saja sudah cukup.

Sebagai sebuah karya seni, film merupakan produksi multi dimensional dan kompleks. Untuk itu, menjadi karya bersama atau hasil kerja kolektif. Dengan kata lain, proses pembuatan film melibatkan kerja sejumlah unsur atau profesi antaralain: sutradara, penulis skenario, penata kamera, penata artistik, penata busana, penata musik, penata gambar (editor), pengisi dan penata suara, aktor-aktris (utama, pendukung, piguran dll).

Selama dua bulanan saya bersama 34 rekan jurnalis lainnya dari ragam media, memilah dan memilih sekitar 60 hingga 80 film yang telah diputar di bioskop maupun OTT. Kemudian mengerucutkan menjadi 35 film pilihan, dan memasukan kedalam kantong 3 kategori yakni horror, komedi, dan drama. Pemilihan film tersebut, tentunya di dasari oleh pengamatan yang tajam dari segala aspek teknis sebuah film.

Selanjutnya, ke-35 film yang terdari dari; 7 film horror,  7 film komedi, dan 21 film drama, kembali ditelisik secara seksama dengan rasa kejujuran oleh dewan juri, untuk memilih minimal 3 film dan maksimal 5 film dari masing-masing kategori. Dan, berikutnya dewan juri dengan konsentrasi penuh tanggung jawab memilah skenario, sutradara, penata kamera, penyunting gambar, aktor dan aktris utama, aktor dan aktris pendukung, serta filmnya.

Pada sesi penjurian penentuan akhir dan memutuskan siapa yang paling baik dari yang terbaik, ada energi yang terkuras untuk masuk dalam dimensi perdebatan. Masing-masing juri memiliki argumennya sendiri, tentunya dengan perspektif pengetahuan plus standard penilaian buku putih FFWI yang  menjadi landasan. Dan, sesi ini cukup menarik, ternyata, wartawan hadir bukan sebagai pencatat, mewartakan apalagi sekedar pelengkap di industri film.

Festival Film Wartawan Indonesia (FFWI) tinggal menghitung hari hasil kerja keras juga cerdasnya dewan juri diumumkan ke khalayak ramai. Plong! rasanya, ketika bisa menjadi bagian menempati kursi dan ikut bersuara sekaligus berjibaku memberikan pandangan serta pilihan aneka rupa film. Plong! bukan berarti lega yang kemudian bisa berleha-leha. Tapi ada tanggung jawab sesudahnya, apakah pilihan terbaik ini tepat dan pas. Semoga!

Saya mencoba berfikir dalam diam, dan merenung untuk membuka cakrawala. FFWI kedepannya seperti apa?. Akankah ada kebaruan dalam konten yang ingin di apresiasi festivalnya. Apakah ada sesuatu yang beda dan jadi pembeda, atau sudah menemukan bentuk lain sebagai indentitas dari festival film kebanyakan. Tidak hanya fokus pada konten penilaian festival yang sudah ada, sehingga tidak dianggap copy paste.

Berbicara tentang sebuah film, bukan yang sifatnya komersil di bioskop. Indonesia memiliki banyak sekali film indie terbaik buatan anak bangsa. Bahkan kualitasnya tidak kalah baiknya. Sayang, apresiasinya   sangatlah terbatas, sehingga memerlukan usaha rekan-rekan media newartakannya tentang film indie terbaik tersebut.

Kendati demikian, bukan berarti film indie boleh dikesampingkan begitu saja. Pasalnya, sejumlah film dalam artikel pernah meraih penghargaan bergengsi di ajang berskala internasional. Alhasil, tak jarang judul film sudah terkenal lebih dahulu di negeri orang ketimbang di negeri sendiri. Kenapa, tidak kita coba untuk memberi apreasi.

Berikutnya, tentang musik video. Saat ini, menjadi trend bahwa karya musik video digarap bergaya sinematik layaknya film pendek. Bukan sekedar menyuguhkan musik an-sich, tapi memvisualkan cerita dalam lagu menjadi sebuah karya film. Proses penggarapannya pun cukup serius, baik cerita, penggambaran, sampai prroses editing dilakukan secara profesional.

Seperti, alffy rev ft. nowela dan lainnya, melahirkan karya musik video “The Spirit of Papua”. Ini bukan sekedar musik video biasa, ada rangkaian lagu bersenyawa dengan ragam bunyi yang melahirkan harmoni luar biasa. Ada cerita dan pesan yang ingin pula disampaikan, layaknya sebuah film pendek yang sangat fantastis. Digarap secara serius bergaya sinematik, baik cerita, keindahan gambar fanoramik, proses editing diberi sentuhan efek 3D.

Satu lagi, karya musik video animasi “Sabda Alam” yang digarap secara oleh 95 siswa jurusan Animasi dan Seni llustrasi di SMK Raden Umar Said Kudus. Lagu ini sendiri musiknya digarap Tohpati. Bukan sekedar musik video biasa, tapi ini lebih dari itu, ada cerita juga pesan. Ada persenyawaan kuat antara musik, lirik, dan penceritaan isinya dalam penggambaran animasinya.

Pesan yang ingin disampaikan, Indonesia memiliki satwa endemik terbanyak se-Asia Tenggara, sebagian besar adalah burung-burung berbulu indah serta memiliki kicauan yang merdu. Namun kini satwa-satwa tersebut sedang terancam oleh perburuan liar dan penangkapan secara ilegal. Berkurangnya populasi hingga kepunahan berbagai jenis burung langka, berakibat langsung pada rusaknya ekosistem lingkungan alam.

Dan, hal inilah yang melatar belakangi pembuatan musik video animasi “Sabda Alam”, sebagai pesan kepedulian untuk mengajak masyarakat turut menjaga keseimbangan ekosistem lingkungan kita dengan tidak memelihara, memburu, apalagi memperdagangkan burung-burung langka tersebut. Sekali lagi, ini sekedar berfikir dalam diam, sebuah dialog imajiner angan dan harapan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *