Urbannews | Malam itu, langit Jakarta menggantungkan bintang-bintang di atas lautan manusia yang tak jemu menari. Di antara kilau lampu panggung dan dentuman bas yang merambat ke dada, terselip kerinduan-kerinduan yang akhirnya menemukan pelabuhannya. Synchronize Festival 2025 bukan sekadar perayaan musik—ia menjelma semacam ibadah emosional, tempat air mata tumpah bersama tawa, dan peluk berjumpa dengan lagu-lagu yang dahulu hanya bisa disetel dalam sepi kamar.
Wajah-wajah muda bersinar dalam peluh dan sorak sorai, seperti bunga-bunga yang merekah di ladang festival yang luas. Mereka bernyanyi tanpa malu, menjerit nama-nama yang selama ini hidup dalam playlist harian. Di sudut-sudut kecil, sepasang tangan saling menggenggam, entah karena cinta atau karena takut kehilangan momen berharga itu.
Di balik panggung, seseorang berdiri diam. Napasnya dalam, tangannya sedikit gemetar, bukan karena gugup—tapi karena rindu. Sudah terlalu lama tak menyapa penonton dari dekat. Terlalu banyak yang ingin diucapkan, tapi tidak semua bisa disampaikan dengan kata.
Di atas panggung, para musisi bukan sekadar tampil—mereka menyulap waktu menjadi kenangan. “Akhirnya kita sampai juga di malam ini. Malam yang mungkin pernah kamu bayangkan dalam sepi—saat dunia terasa terlalu bising tapi hati terlalu sunyi. Tapi malam ini, kamu nggak sendiri. Aku pun tidak. Kita semua ada di sini.”
Aku tahu, mungkin hidup nggak selalu ramah. Kadang ia menampar tanpa aba-aba. Tapi malam ini, izinkan aku membalas semua luka itu… dengan lagu. Izinkan aku menyentuhmu, bukan dengan tangan—tapi dengan nada yang pernah menyelamatkanku juga.
Kamu yang datang membawa tawa, terima kasih sudah berbagi cahaya. Kamu yang datang membawa air mata, terima kasih masih bertahan. Dan kamu, yang mungkin nggak tahu kenapa kamu di sini, tapi tetap memilih untuk hadir—terima kasih sudah memberi kesempatan.
Malam ini bukan tentang aku. Tapi tentang kita. Tentang suara yang tak pernah padam, meski diteriakkan dalam hati. Tentang kenangan yang hidup kembali dalam tiap bait lagu. Jadi kalau nanti kamu nyanyi kencang, teriak sekencang-kencangnya. Kalau kamu diam dan cuma mau dengar, juga nggak apa-apa. Nggak ada yang salah malam ini. Karena malam ini, adalah rumah. Dan semua orang diterima di rumah.
Lalu, lampu yang tadinya terang benderang meredup dengan cahaya warna-warni. Suara riuh mulai pecah. Seseorang melangkah ke tengah panggung. Mikrofon digenggam perlahan. Dan malam pun dimulai. Di tengah kerumunan, ada yang datang sendiri. Ada yang tertawa ramai bersama teman-temannya. Ada yang sengaja menyembunyikan air mata. Tapi mereka semua datang dengan alasan yang sama: untuk merasa hidup.
Setiap lirik yang dilantunkan, setiap nada yang dilemparkan ke udara, mengikat hati penonton satu sama lain. Ada yang menangis diam-diam ketika lagu lama dari band idolanya dimainkan, teringat masa muda yang kini hanya bisa dikenang. Ada pula yang melompat-lompat, merayakan kebebasan yang jarang mereka dapati di luar pagar festival ini.
Malam semakin larut, tapi semangat tak kunjung padam. Cahaya dari ponsel-ponsel yang diangkat ke udara seolah jadi bintang buatan, mengimbangi langit malam yang malu-malu. Di sana, di tengah kerumunan yang bergerak seperti ombak, seseorang berseru, “Ini lebih dari sekadar konser. Ini adalah rumah.” Dan yang lain mengangguk, meski tak saling kenal, seakan letupan kata itu sudah mewakili rasa semua.
Ketika panggung terakhir di hari kedua meredup dan musik perlahan diam, tak ada yang benar-benar pergi. Yang tersisa adalah gema dalam dada, getar di telapak kaki, dan kenangan yang tak akan lekang esok pagi. Synchronize Festival 2025 telah usai, namun dalam diri setiap penontonnya, ia akan terus berdetak—seperti lagu favorit yang tak pernah bosan diputar ulang.
Synchronize bukan sekedar festival, bukan pula cuma sekedar konser. Ini adalah perayaan. Ini penyembuhan. Ini pengingat—bahwa kamu hidup. Bahwa kamu pernah merasa. Dan bahwa kamu nggak sendiri. Ini malam kita. Satu irama. Satu cerita. Satu jiwa.
Foto: Dok.Ibonk