UrbannewsID Film | Penonton sebagai penikmat sebuah karya sinematografi (film), memiliki hak eksklusif untuk memberikan interpretasi terhadap apa yang dilihatnya. Bentuknya, bisa secara lisan maupun tulisan tentang isi film, berupa penilaian baik buruk serta kualitas yang ditonton.
Sikap kritis ini sangat penting. Bukan soal tuntutan atas haknya untuk mendapatkan ‘barang’ yang berkualitas saat ia membeli, tapi ini sebuah upaya memberi asupan nutrisi sebagai pembangkit enerji bagi filmmaker meningkatkan mutu karyanya, termasuk demi kemajuan film nasional.
Tentunya, menilai sebuah film ada standartnya termasuk juga kriterianya. Secara sederhananya, lihat saja sejauh mana aspek pencapaian secara tematik (alur cerita), maupun estetik (tehnis pembuatan) yang dihasilkan dari karya film tersebut. Pastinya sekedar bukan katanya, tapi harus ditonton langsung sampai tuntas dan dicatat dengan cermat.
Seperti sebuah film berlatar belakang sejarah yang saya tonton, Jumat (20/7) malam, di Metropole XXI, Jakarta, berjudul ‘Sara & Fei, Stadhuis Schandaal’, yang mengangkat skandal cinta Sara dan Pieter C dimasa kolonial pada tahun 1628, di Balaikota-Batavia, karya sutradara senior, Adisurya Abdy, produksi XELA Pictures.
Adisurya, lewat karya filmnya mengajak kita menembus lorong waktu ke zaman VOC, dimana saat itu Jan Pieterzoon Coen sang Gubernur Jenderal berkuasa di Batavia. Kita bisa menukil sejarah pada masa itu, soal kisah roman yang berujung maut. Berlakunya hukum adab atas hubungan beda ras dan beda strata tanpa ikatan perkawinan adalah sesuatu yang tabu.
Seperti tulisan saya pertama, sebelum menonton secara langsung. Diharapkan ada aspek budaya dan sosial menyatu dalam adegan film yang merefleksikan sebuah miniatur peradaban masa lampau. Bayangkan saja, era atau zaman yang tidak kita ketahui atau alami sebelumnya, bisa kita tarik maju dengan menonton sekelebat adegan dalam film. Dan, ini adalah sensasi belajar sejarah.
Tapi sayang!, tanpa mengurangi apresiasi atas kerja kerasnya membuat film drama romantis berbalut sejarah, ada beberapa aspek dalam proses penggarapan dikerjakan kurang maksimal. Maaf, bukan sok jago apalagi menggurui, ini sekedar catatan kecil sebagai penonton yang berharap lebih suguhan film yang menghibur sekaligus berkualitas.
Di sepuluh menit pertama, film dibuka lewat potongan foto-foto yang flat dengan narasi yang menceritakan sejarah zaman kolonial yang menguasai Batavia. Ini seperti dongeng seorang guru kepada murid, dengan aplikasi multi media dilayar tv yang lazim kalau kita ke museum. Tidak ada gambar hidup yang diambil dari dokumentasi pustaka museum, misalnya.
Sosok pemeran Jan Pieterzoon Coen dan beberapa kroninya, tidak ada yang menyiratkan bule Belanda. Termasuk, dalam dialog menggunakan het Nederlands atau de Nederlandse Taal (bahasa Belanda) tidak nampak jelas, kalau pun ada sedikit, seperti bergumam. Sepertinya, sisi pemilihan artis pemeran beberapa karakter kedodoran.
Kalau dibedah lebih detail, mungkin banyak yang perlu dibenahi. Point utamanya, bahwa film tidak sekedar medium hiburan, tapi film adalah perekam zaman sekaligus perekat ingatan. Setidaknya, ada upaya edukasi untuk menolak lupa yang kerap menjangkiti generasi milenial yang tuna wawasan perihal pencapaian seni dan budaya di masa silam.
Jika film digarap secara serius, dibedah secara detail scene-per-scene, baik alur cerita, karakter pemain, artistik, editing, sampai penggunaan teknologi CGI (Computer-Generated Imagery), hal bersifat elementer bisa teratasi, sehingga tidak mengharukan di hasil akhirnya. Film secara fungsi, bisa juga menjadi sebuah literasi kultural. Kita bisa memotret sebuah peristiwa masa lampau dengan segala pernak-perniknya.|Edo