Reflektif Hari Kebudayaan Nasional: Disanjung di Panggung, Terabaikan di Kehidupan

Peringatan Hari Kebudayaan Nasional seharusnya menjadi ruang refleksi dan otokritik, bukan sekadar pesta panggung dan kostum adat tanpa makna.

Urbannews | Di tengah gegap gempita perayaan Hari Kebudayaan Nasional, 17 Oktober 2025, terselip ironi yang tak bisa diabaikan. Banyak acara berbasis kebudayaan justru kehilangan makna, berubah menjadi seremonial penuh kemasan tapi minim ruh. Inilah saatnya bangsa ini berhenti bertepuk tangan, dan mulai bercermin: apakah kita masih benar-benar menjaga jati diri, atau hanya memamerkannya di atas panggung?

Kita sering mengaku bangga menjadi bangsa yang kaya budaya. Namun kebanggaan itu kini mulai terasa hampa ketika nilai-nilai budaya hanya tampil dalam bentuk, bukan dalam makna. Busana adat dikenakan tanpa penghayatan, tarian sakral disulap menjadi hiburan cepat saji, dan upacara adat dikemas semata agar tampak “ramai di kamera”.

Inilah pelanggaran kasat mata yang kerap terjadi di balik slogan pelestarian. Budaya yang semestinya menjadi roh kehidupan bangsa, kini direduksi menjadi dekorasi acara. Kita terlalu sibuk merayakan tampilannya, tapi abai menjaga nilai-nilai di dalamnya. Padahal, budaya sejatinya bukan hanya tentang tradisi masa lalu, melainkan cara kita berpikir, bersikap, dan menghormati sesama di masa kini.

Selamatkan budaya nasional berarti menempatkan nilai-nilai budaya dalam keseharian. Menghidupkan gotong royong, kesantunan, dan rasa malu saat melanggar kearifan lokal. Bukan sekadar menggelar festival, tetapi memastikan masyarakat adat, pelaku seni, dan generasi muda terlibat dalam makna yang sejati.

Budaya tidak lahir dari sponsor, tetapi dari kesadaran. Kesadaran bahwa modernitas bukan alasan untuk meninggalkan akar. Justru di tengah deras arus global, budaya adalah jangkar yang menjaga arah agar kita tidak hanyut menjadi bangsa yang kehilangan identitas. Kita boleh beradaptasi, tapi jangan tercerabut. Kita boleh maju, tapi jangan lupa berpijak.

Hari Kebudayaan Nasional bukan hari untuk bersorak, tapi hari untuk bercermin. Apakah kita benar-benar sedang merayakan budaya, atau hanya memanfaatkannya? Apakah kita sedang menghidupkan nilai-nilainya, atau sekadar memeriahkan panggungnya.

Hari Kebudayaan Nasional seharusnya bukan pesta formalitas, melainkan perenungan nasional. Budaya bukan milik masa lalu, ia adalah masa depan yang kita rawat hari ini. Selamatkan budaya nasional — bukan dari ancaman luar, tapi dari kelalaian kita sendiri yang perlahan membuatnya kehilangan makna. Karena tanpa budaya, bangsa ini hanya akan menjadi penonton di panggungnya sendiri. | Edo Maitreya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *