PragueNayama: Sebuah Penjelajahan Bunyi dan Jiwa Dewa Budjana

Urbannews | Dalam perjalanan panjang bernama kehidupan, ada jiwa-jiwa yang tak pernah lelah menapaki batas-batas sunyi demi menemukan dirinya yang paling jujur. Dewa Budjana adalah satu di antaranya. Ia bukan sekadar gitaris. Ia adalah pengelana bunyi yang menjadikan petikan senar sebagai doa, dan harmoni sebagai bahasa untuk berdialog dengan semesta.

Melalui PragueNayama, Budjana kembali menenun kisah: tentang waktu, tentang napas, tentang pulang. Album ini bukan hanya peristiwa musikal—melainkan ruang kontemplasi yang menjembatani Timur dan Barat, tradisi dan modernitas, jiwa dan tubuh.

Dewa Budjana tak pernah benar-benar tinggal diam. Ia selalu gelisah dalam cara yang paling puitis—menjelajah dimensi musikal baru, membongkar batas-batas konvensi, dan membiarkan dirinya larut dalam pencarian yang tak pernah selesai. PragueNayama adalah penanda terbaru dari pelayaran panjangnya itu, sebuah album yang bukan hanya mengandung bunyi, tapi juga napas kehidupan.

Bekerja sama dengan Czech Symphony Orchestra, rekaman album ini berlangsung secara langsung di Czech Television Studio, Praha, pada bulan April 2025. Bukan pertama kalinya Budjana menyulam orkestrasi dalam karyanya. Namun kali ini, ia melakukannya secara live, tanpa keraguan, tanpa sekat antara jiwa dan teknik.

Lahir dari kedalaman refleksi, album ini berisi lima komposisi yang masing-masing punya napas dan nyawa sendiri: Dreamland, Sasih Sadha, Karma, On the Way Home, dan Pranayama. Sebuah peta batin yang dibentangkan lewat petikan gitar, dentuman bass Shadu Rasjidi, ketukan kendang Cucu Kurnia, dan resonansi handpan dari Aji Sangajie. Sentuhan akhir disempurnakan oleh tangan dingin Rich Breen dari Dogmatics Sound, Burbank, California.

Dirilis secara digital pada Selasa, 23 September 2025, PragueNayama kini dapat dinikmati di berbagai platform musik. Format fisiknya—kaset, CD, dan piringan hitam—masih dalam proses, seolah menandakan bahwa karya ini tak lekang oleh waktu.

Pranayama: Napas Panjang Seorang Seniman

Makna Pranayama tak sebatas teknik pernapasan dalam yoga. Bagi Budjana, ia adalah metafora untuk perenungan—sebuah momen syukur yang lahir dari kesadaran akan usia dan waktu. Di usia 62 tahun, gitaris kelahiran Sumba Barat, 30 Agustus 1963, ini memilih untuk tidak berhenti. Ia justru menggali lebih dalam, menyusuri lorong-lorong batin yang mungkin sebelumnya belum sempat dijamah.

Dalam kesenyapan yang panjang itu, mengalunlah suara hati: “Sejatine wong urip iku titipan. Yen tansah sabar jujur, uripmu bakal linuwih, ayem tentrem rahayu. Tembang macapat iku bisa digunaake minangka piwulang alus kanggo anak lan wong tuwa…”

Kalimat itu bukan sekadar petuah. Ia adalah mantra hidup yang menjelma dalam setiap nada yang Budjana mainkan.

Melodi yang Membebaskan

Gitar bukan lagi alat musik. Ia adalah tubuh kedua, saluran komunikasi antara Budjana dan semesta. Ia membiarkan jiwanya larut ke dalam setiap nada, lalu menyatu dalam kebebasan interpretasi. Dalam Karma, kita mendengar benturan lembut antara akustik dan distorsi, seperti kehidupan yang terus bergerak antara tenang dan riuh. Dreamland menghadirkan lanskap surealis, tempat harapan tumbuh dan waktu seolah tak ada. Sementara On the Way Home adalah pelita yang menunjukkan arah pulang bagi jiwa-jiwa yang lelah.

Budjana tak pernah memaksakan tafsir. Ia membebaskan para kolaboratornya untuk menafsirkan dengan cara masing-masing. Baginya, musik adalah ruang bebas—dan setiap orang berhak menulis cerita sendiri di atasnya.

“Semoga ke depan saya bisa lebih baik dalam bermelodi dan chords,” ucapnya, sederhana namun penuh kerendahan hati. Sebuah kalimat yang mengandung harapan, bukan hanya untuk dirinya, tapi untuk kita semua yang masih belajar memahami diri lewat karya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed