Pesantren Tahfiz Difabel KH. Luthfi Fathullah, Menyalakan Harapan Dalam Kesunyian

Nasional998 Dilihat

Urbannews  | Kehangatan harapan dalam kesunyian seketika melingkup saat memasuki Pondok Pesantren Tahfiz Difabel KH. Luthfi Fathullah di Jalan Gunung Balong Raya Rt.07-Rw.04, Lebak Bulus III, Cilandak, Jakarta Selatan, Sabtu (27/8/2022).

Kehangatan tersebut dirasakan bukan saja oleh pengurus dan pengajar, tapi juga oleh para santriwati Pesantren Tahfiz Difabel KH. Luthfi Fathullah. Pertama, Pesantren Tahfiz Difabel dibawah BAZNAS|BAZIS  dapat IMB dan nama yang diresmikan sekaligus diserahkan oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Rasyid Baswedan, berserta jajajaran dibawahnya.

Nama Pesantren Tahfiz Difabel KH Luthfi Fathullah diberikan Anies Baswedan sebagai bentuk terima kasih dan hormat kepada KH. Luthfi bin Fathullah bin Abdul Mughni. Ahli hadits yang memiliki wawasan dan pengetahuan yang dalam dan melek iptek. Almarhum Kiai Lutfi yang juga Ketua Bazis ini, adalah cucu ulama besar KH Abdul Mughni asal Betawi.

Pesantren Tahfiz Difabel KH. Luthfi Fathullah menjadi rumah anak-anak kebutuhan khusus dengan gangguan pada pendengarannya (tuna rungu) dan gangguan pada komunikasi (tuna wicara) untuk belajar Al Quran. Seperti kehadiran Maydhi Yaa Awanda, model teman tuli, juga Resta D Nayla (15), atlet olahraga bulutangkis mewakili 10 santriwati yang mondok untuk belajar.

Baik Wanda maupun Resta sangat antusias dan penuh semangat belajar Tahfiz Qur’an, awalnya mereka belajar huruf hijaiyah kini meningkat ke surah Al Fatihah. Sebelum masuk Pesantren Tahfiz Difabel, mereka berdua belum sama sekali belajar Al Qur’an. “Senang banget, dan ternyata mudah sekali belajarnya,” jelas mereka berdua.

Pada awalnya Wanda maupun Resta ada kesunyian, kini ada keriuhan kata yang telah melebur dalam isyarat. Menurut In’am Ikroma, pendamping, pengasuh sekaligus pengajar, bahwa memang sangat tidak mudah menjadi penghapal Al Qur’an bagi penderita tuna rungu.

“Bukan semata Pengajar Al Qur’an untuk bahasa isyarat masih sangat terbatas. Tapi belajar menggunakan isyarat jari semua, membutuhkan waktu yang tidak sebentar, termasuk seorang guru bahasa isyarat sekalipun, idealnya harus belajar paling tidak selama setahun.” kata In’am Ikroma.

In’am Ikroma menambahkan, pertama, belajar huruf hijaiyah dulu, sebelum belajar menghafal surat Al Fatihah. Kemudian baca Al Quran per huruf, yang merujuk pada panduan atau pedoman belajar bahasa isyarat tangan di Darul Asom di Yogyakarta, yang didaku sebagai Pesantren tuna rungu pertama di Indonesia.

“Satu Hal yang sangat penting, bahwa mereka butuh teman. Hidup kita yang bermasyarakat, mereka belum tentu bisa. Kita aja dicuekin temen gak enak, apalagi mereka. Pastinya, mereka butuh kesempatan belajar yang sama, butuh rumah untuk berkomunikasi dan berkawan. Ini pula mendorong semangat saya juga pengajar yang lain, menyalakan harapan dalam kesunyian mereka.” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

78 komentar