Urbannews Art&Culture | Ada rasa keprihatinan mendalam menyeruak dari mereka yang masih menjaga kewarasannya ditengah suasana sakit sebagian warga bangsa, karena beda pilihan, keyakinan, dan keberpihakan dalam menghadapi segala persoalan kehidupan sosiaI-politik-kultural di negeri kita, Indonesia.
Hal ini, diakibatkan munculnya praktik diskursif, baik ujaran, sikap hingga tindakan bernarasikan kebencian satu sama lain, yang terbukti atau berpotensi merusak dan membusukkan tata hubungan sosial kultural masyarakat Indonesia yang sudah susah payah dibangun oleh leluhur kita bersama.
Melihat realitas tersebut, anggota atau aktivis Mufakat Budaya Indonesia kembali bersuara lantang menyatakan sikap tegas bahwa kebudayaan tak boleh lemah. Tetap saling mengingatkan, seberbeda apa pun kamu, adalah (bagian dari) aku: kamu adalah aku, aku adalah kamu. lnilah inti kesatuan (ika) dalam keragaman (bhineka) bangsa kita: beragam itu satu, satu itu beragam.|Edo
Berikut pernyataan dan imbauan Mufakat Budaya Indonesia.
Menyikapi perkembangan mutakhir dari kehidupan sosiaI-politik-kultural di negeri kita, Indonesia, dimana terjadi peningkatan intensitas, jumlah dan kualitas dari:
a. Perpecahan kelompok masyarakat yang didasari oleh perbedaan sukubangsa, agama/keyakinan, hingga (bahkan terutama) pilihan politik. yang terjadi sampai pada tingkat personal dan hubungan keluarga/rumah tangga,
b. Konflik horisontal dan vertikal akibat perpecahan di atas, hingga pada tingkatan fisik yang melibatkan bukan saja sesama anggota perkauman/adat, tapi juga antara sahabat, hingga anggota keluarga,
c. Penggunaan bahasa bahkan karya seni yang diluhurkan tujuan dan caranya oleh para leluhur dan pendiri bangsa demi kepentingan sempit/sektarian secara kasar, keji, penuh hasutan dan gaya retoris yang memutarbalikkan fakta dan akal sehat, terlebih ketika tindakan itu disebar-Iuaskan secara massif melalui berbagai platform media (baik konvensional maupun virtual).
d. Ditinggalkan dan dikhianatinya nilai-nilai kemanusiaan universal hingga nilai-nilai dasar dari keadaban publik bangsa yang telah dipelihara begitu lama oleh para pendahulu kita, sehingga berpotensi besar merusak tatanan hidup kita berbangsa dan bernegara,
e. Syahwat kuasa politik dan ekonomi yang kerap tak terkendali dimana rakyat pada umumnya kemudian terpengaruh secara negatif karenanya,
f. Dan beberapa hal Iain yang sifatnya destruktif bagi kemaslahatan bangsa.
Maka karena hal itu semua, kami, anggota/aktivis Mufakat Budaya Indonesia, menyampaikan pernyataan dan imbauan kepada seluruh elemen bangsa Indonesia, terutama yang terkait langsung dan tak Iangsung dengan realitas/fenomena tersebut di atas:
1. Menghentikan praktik diskursif, ujaran bahasa, sikap hingga tindakan, yang terbukti atau berpotensi merusak dan membusukkan tata hubungan sosial kultural masyarakat Indonesia yang sudah susah payah dibangun oleh leluhur kita bersama.
2. Tidak menjadikan kontestasi politik, seperti Pemilihan Presiden dan anggota legislatif, sebagai ajang pertempuran di antara kekuatan yang semata dihela oleh nafsu meraih kekuasaan temporer semata.
3. Para elit, baik di lingkungan politik. ekonomi, akademik, agama hingga budaya, tidak lagi menginisiasi, menginspirasi terlebih mengorganisasi publik luas untuk melakukan perbuatan destruktif di atas demi tujuan-tujuan kelompoknya masing-masing; mengambil dan menjalankan obligasi (tugas dan kewajiban) kepemimpinannya secara bertanggungjawab membawa bangsa dan rakyatnya menuju cita-cita mereka.
4. Mengingat dan menyadari kembali dalam sejarah bangsa Indonesia (bangsa-bangsa di Nusantara) yang panjang, yang antara lain karena faktor alam dan lingkungan membentuk kebudayaan (juga peradaban) Bahari, menerima perbedaan di alam semesta, juga di kalangan umat manusia, bukanlah sebagai persoalan apalagi hambatan dalam mengembangkan diri, tapi sebagai keniscayaan alam bahkan berkah yang membuat (jati) diri manusia, bangsa. dan budaya Bahari unik berintegritas.
5. Semua yang berbeda di pihak/orang/bangsa Iain, bagi bangsa dalam budaya Bahari, diterima secara penuh karena ia menjadi unsur yang turut melengkapi juga mengembangkan secara berkelanjutan (jati) diri atau eksistensi manusia Indonesia. Bahwa seberbeda apa pun kamu, adalah (bagian dari) aku: kamu adalah aku, aku adalah kamu, tat wam asi, seperti dikatakan dalam tradisi Bali. lnilah inti kesatuan (ika) dalam keragaman (bhineka) bangsa kita: beragam itu satu, satu itu beragam.
6. Karena itu, masyarakat kita sesungguhnya memandang toleransi tidaklah cukup sebagai sikap menghadapi karena ia masih mengandung batas (yang tak boleh dilampaui), namun kita sejak lama mengembangkan sikap akseptansi (penerimaan tak terbatas) dimana perbedaan diterima penuh dan rasa syukur, sebagai rizki untuk membentuk dan mengembangkan diri, sehingga tercipta hubungan saling-bergantung (interdependensial) bahkan hingga tingkat menjadi “saudara” (tanpa ikatan keluarga/darah) dan karenanya kelemahan/kekurangan hingga celaka/bencana yang dialami “saudara” (sebangsa), tidak mungkin dinafikan apalagi dihina/disingkirkan, namun disikapi dengan penuh empati.
7. Hal itu disebabkan oleh karakter/sifat manusia/bangsa Indonesia yang komunalistik (kolektivis) dimana kepentingan “orang banyak” jauh Iebih utama ketimbang kepentingan personal dan karenanya individualisme, seperti juga dikatakan bapak-ibu-bangsa, bukanlah bagian dari watak bangsa Indonesia.
8. Karenanya, pikiran dan tindakan kita mesti dilandasi oleh etika (basis benar dan baik) sesuai keadaban bangsa ini, begitupun kebenaran yang diyakini dan disampaikan harus obyektif, tidak saja berdasar etika tapi juga kepentingan komunal/nasional kita. Bukan kebenaran subyektif atau preferensial, mengandalkan media sosial sebagai pengabsah (justifikasi)nya.
9. Untuk itu perlu menghindari penghakiman atau pengadilan sepihak, sekadar demi kepentingan syahwat kuasa, terhadap orang/pihak lain dengan cara mengembangkan saling pengertian, kerjasama, rasa bersaudara, dan kegotongroyongan di dalam perbedaan. Dan dengan spiritualitas yang menjadi watak ucama bangsa, kita yang “lebih” memberi tauladan dengan budi pekerti, sikap welas asih dan berbagi pada yang “kurang”.
Bagi siapa pun yang menganggap dirinya warga dari negara Indonesia atau rakyat dari negeri ini, memiliki imperasi untuk mempertahankan kedaulatan dan keutuhan warisan kepulauan ini. Sebagai makhluk-budaya, dalam arti semua orang terlibat dalam semua produk budaya bangsa ini, juga wajib menjaga dan mengembangkan kebudayaan yang dalam kurun waktu sangat panjang membuat (bangsa) kita dinamis dalam membentuk karakter/jatidiri dan tidak xenofobis (takut pada perbedaan dan keasingan).
Maka, bagi siapa pun yang melakukan haI-hal sebaliknya, melakukan khianat atau ingkar dari keadaban publik di atas, seperti sebagian terungkap di poin-poin imbauan di atas, sebaiknya mengoreksi diri secara sungguh-sungguh, atau bila tidak dapat, segera melucuti (atau pantas dilucuti) dari seluruh atribut kebangsaan dan kewarganegaraannya sebagai konsekuensi.
Demikian pernyataan kami, mewakili seluruh aktivis/anggota Mufakat Budaya Indonesia di seluruh pelosok negeri.
Jakarta, 12 Maret 2019
Radhar Panca Dahana (Koord), Niniek L. Karim, Renny Djajoesman, Adi Kurdi, Mohammad Sobary, Dolorosa Sinaga, Noorca M. Massardi, HS Dilon, Damhuri Muhammad, Anto Baret, Jajang C. Noer Pamoentjak, Nungky Kusumastuti, Sori Siregar, KS Arsana, Connie Rahakundini Bakrie, Toni Q, Olivia Zalianty, Dindon WS, Syahnagra, Bambang Prihadi, Ivan Slank, Sha Ine Febriyanti, Nugie, Marcella Zalianty, Maya Hasan, Adi ‘Kla’ Adrian, Suhadi Sendjaja, Donny Gahal Ardian, Teuku Rifnu Wikana, Che Cupumanik.