Pentingkah Balkonjazz Festival Menggaet Wisatawan Milenial

Music431 Dilihat

Urbannews | Lepas pukul delapan malam. Kintoko (23) dan Luna (21) tampak asyik bernyanyi mengikuti musik band idolanya Kahitna yang tampil menutup gelaran Balkonjazz Festival 2022. Ini adalah kali kedua mereka berduaan pergi ke event Balkonjazz. Setelah menonton Kahitna, mereka pun kemudian pindah ke Pasar Rakyat Balkondes untuk menyicipi aneka kuliner, sambil melihat serta berburu kerajinan seni kriya para warga yang jadi favorit mereka.

“Tahun ini sih selain nunggu Kahita, kita juga nunggu penampil yang lain seperti Megantoro, Coldiac, Raissa Anggiani, Aditya Sofyan, Dere, Juicy Luicy, Rendy Pandugo, serta Pamungkas,” ujar Kintoko, pemuda Sleman yang kini tinggal di Bogor.

Kintoko dan Luna adalah dua dari ribuan penonton yang hadir di Balkonjazz Festival 2022 yang digelar di Gasblock Balkondes PGN Karangrejo, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Festival yang menjadi atraksi wisata unggulan bagi masyarakat sekitar Borobudur ini, diharapkan menjadi ajang bertemunya kaum muda, bahkan masuk dalam 100 Calender of Events (CoE) Wonderful 2022.

Festival musik memang selalu lekat dengan citra anak muda, karenanya menyasar anak muda sebagai penonton adalah hal yang tepat. Bakkar Wibowo, founder Balkonjazz Festival sekaligus promotor dari Sinergi Live, menjelaskan, Balkonjazz mencoba menyasar kaum milenial. Bakkar pun mengaku sedikit terkejut, tiket sold out beberapa minggu sebelum hari H. Dan, istimewanya penonton muda festival musik dari Magelang, Yogyakarta Wonosobo, hingga Temanggung.

Kekuatan Para Wisatawan Muda

Generasi milenial memang jadi bahan rebutan di banyak sektor, termasuk pariwisata. Ini bukan tanpa alasan, tentu. Mengingat jumlah generasi ini amat besar. Dalam studi yang dilakukan oleh Bloomberg jumlah generasi milenial mencapai 31,5 persen dari total populasi dunia, atau sekitar 2,43 miliar jiwa.

Di dunia pariwisata, generasi milenial ini juga punya karakteristik wisata yang berbeda dengan generasi pendahulunya. Bagi para pejalan muda ini, pengalaman adalal hal yang lebih penting ketimbang, misalkan, barang (Sofronov, 2018).

Mereka juga tech savy, lekat dengan teknologi yang membuat perjalanan jadi lebih mudah dan nyaman. Karena perubahan karakter wisata yang amat kontras ini, wajar kalau dunia pariwisata sempat pontang-panting beradaptasi dan tak jarang melahirkan friksi –semisal ribut-ribut antara hotel melawan Airbnb, atau agen perjalanan melawan situs penyedia tiket pesawat dan kereta api.

Selain jumlahnya yang besar, ini yang tak kalah penting: wisatawan milenial adalah kelompok yang rela mengeluarkan dana paling besar dibanding kelompok umur lain. Dalam survei yang dilakukan Travelport di Amerika Serikat, disebutkan bahwa kelompok milenial berusia 18-34 tahun rela mengeluarkan bujet hingga 5.000 dolar untuk liburan.

Karena karakter wisatawan milenial yang lebih mengutamakan pengalaman itu, wajar kalau pilihan wisata mereka lebih niche, alias masuk dalam ceruk yang lebih sempit. Yang mereka kejar adalah pengalaman, bukan mass tourism. Mereka lebih senang mencari tujuan yang tidak terlalu populer, namun memberikan banyak pengalaman alih-alih foto di tetenger wisata masyhur. Dunia pariwisata juga kerap melabeli wisata ini sebagai wisata minat khusus.

Dulu, wisata minat khusus kerap diasosiasikan dengan wisata seperti eco tourism atau yang berkaitan dengan pencarian sesuatu yang eksotis (Brennan, 1995). Namun sejak dua dekade terakhir, wisata minat khusus ini melebar menjadi: wisata yang punya satu tema khusus. Misalkan sport tourism, movie tourism, dan tentu saja music tourism alias pariwisata musik.

Festival musik adalah bagian penting dari pariwisata musik dan sebagai atraksi wisata. John Connell dan Chris Gibson di buku pentingnya, Music and Tourism: On the Road Again (2005), menyebut bahwa musik kini menjadi salah satu alasan orang untuk melancong. Di negara yang industri pariwisata musiknya maju, semisal Inggris dan Amerika Serikat, festival musik jadi anggota garda depan untuk semarakkan pariwisata dan mengundang wisatawan.

Di Inggris, ada festival musik Glastonbury yang tiap tahunnya mendatangkan 200 ribu hingga 300 ribu wisatawan ke desa kecil bernama Pilton, yang bahkan populasinya tidak sampai 1.000 orang. Di Amerika Serikat, ada Lollapalooza yang rutin ditonton sekitar 300 ribu hingga 400 ribu orang. Ada juga Coachella, festival tahunan yang pada 2017 mendatangkan sekitar 250 ribu penonton ke Gurun Colorado dan berhasil meraih pendapatan kotor sekitar 114 juta dollar.

“Maka tak mengherankan kalau pariwisata musik, termasuk festival, menjadi salah satu hal membentuk pertumbuhan ekonomi baru. Karena niat awal Balkonjazz Festival ini untuk mengangkat perekonomian lokal, agar mereka benar-benar mendapatkan bagian kue pembangunan dengan semestinya dengan keberadaan Candi Borobudur,” jelas Bakkar Wibowo.

Ke depannya, Bakkar Wibowo juga berharap, Balkonjazz Festival yang dimatanya, tidak besar tapi tidak kecil, namun bisa terdengar gaungnya agar makin mampu mengedukasi penonton festival musik di Indonesia, khususnya kaum muda. Generasi milenial memang jadi bahan rebutan di banyak sektor, termasuk pariwisata.

“Festival musik di Indonesia akan makin semarak, apalagi mengingat jumlah kelas menengah yang terus meningkat. Maka ada baiknya, pelan-pelan festival musik dimasukkan dan diperlakukan sebagai atraksi wisata yang bisa menarik minat generasi milenial. Tapi utamanya, sejauh mana dampak sebuah festival terhadap perekonomian masyarakat sekitar,” tegas Bakkar Wibowo.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *