Urbannews | Tata edar film nasional dinilai belum dijalankan secara berkeadilan bagi produser film. Penyebabnya eksibitor film nasional masih dijalankan secara monopoli oleh satu jaringan bioskop. Untuk itu negara diharapkan hadir untuk memberikan proteksi bagi industri perfilman Indonesia yang sehat dan bebas dari praktik oligarki-monopolistik.
Hal ini menjadi benang merah dari Focus Group Discussion (FGD) tentang perfilman amanat UU No. 33 Tahun 2009 yang digagas oleh Direktorat Perfilman, Musik dan Media, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Tahun 2024 serta bekerjasama dengan Seksi Film, Musik, dan Hiburan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat yang digelar di Jakarta.
“Proses yang belum transparan, tidak ada standard baku kurasi penentuan film yang layak tayang atau tidak di layar bioskop. Implikasinya banyak film nasional yang sulit mendapatkan jumlah layar yang memadai dan waktu tayang minimal yang ideal,” kata Benny Benke, ketua Seksi Film, Musik, dan Hiburan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat.
Salah satu produser film Lola Amaria mengatakan saat ini masih terjadi ketimpangan relasi-kuasa yang membuat komunikasi terjadi secara searah. Situasi tersebut, kata dia, menjadikan produser film nasional berada dalam posisi yang lemah ketika berhadapan dengan eksibitor film (pengelola bioskop). Bahkan ketika terjadi masalah, kata dia, pihaknya masih sulit mendapatkan perlindungan dan dukungan yang berpihak kepada para pembuat film.
“Sejak lahirnya UU No. 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman, lembaga/instansi yang menaungi perfilman belum menjadi ‘ibu’ bagi para pelaku industri film,” ujarnya.
Pemerhati film nasional Akhlis Suryapati menyebut kondisi carut-marut ini terjadi karena adanya rangkap peran eksibitor sekaligus importir film. Situasi tersebut, kata dia, membuat pihak eksibitor sudah pasti lebih mengutamakan pemberian layar untuk film-film yang diimpornya daripada film nasional. Hal ini membuat produser film nasional kesulitan untuk mendapatkan jatah tayang di jaringan bioskop nasional.
“Di sini terlihat adanya dugaan kuat praktik oligarki dalam penentuan layar untuk menayangkan karya film nasional. Ini ditandai dengan penguasaan jaringan bioskop XXI, CGV, dan Cinepolis yang dipimpin oleh XXI,” tutur Akhlis.
Dari kegiatan FGD ini ditemukan sejumlah masalah krusial yang terjadi di industri perfilman nasional. Diantaranya ekosistem industri film nasional dinilai tidak berjalan sesuai amanat UU No. 33 Tahun 2009 Tentang Perfilman dan UU No. 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Masalah lainnya adalah belum ada aturan pelaksana yang sesuai dengan jiwa UU No 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. “Sedangkan Peraturan Menteri yang ada justeru melemahkan posisi produser film karena lebih mengutamakan kepentingan eksibitor film,” kata Wina Armada Sukardi, founder sekaligus presiden Festival Film Wartawan Indonesia (FFWI).
Hasil FGD ini juga menemukan belum adanya lembaga/komite yang mempunyai kewenangan untuk menentukan sebuah film layak atau tidak untuk ditayangkan di bisokop sesuai dengan Pasal 32 UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman. Sementara dalam konteks tata edar perfilman, masih terjadi perbedaan cara pandang. Kemendikbudristek menempatkan film sebagai produk budaya. Sebaliknya, Kemenparekraf menempatkan film sebagai produk ekonomi. “Perbedaan cara pandang ini harusnya perlu disinkronisasikan,” kata Dr Nurman Hakim, akademisi sekaligus pembuat film nasional.
9 Rekomendasi
Kegiatan FGD ini memberikan sembilan rekomendasi. Pertama, mendesak pemerintah melalui Kemendikbudristek untuk segera secepatnya merevisi dan/atau mengubah Peraturan Menteri No. 34 Tahun 2019 yang mengatur dan menjabarkan Pasal 32, 33, dan 34 UU No. 33 Th 2009 Tentang Perfilman. Kedua, mendesak pemerintah melalui Kemendikbudristek untuk membuat regulasi serta merevisi Peraturan Menteri (Permen) pasal 14 yang memastikan terlaksananya 60% layar film diperuntukkan khusus untuk film nasional.
Rekomendasi FGD ketiga adalah mendesak pemerintah melarang monopoli kepemilikan di bidang perfilman dan tata edar. Keempat, mendesak agar dibentuk tim/komite independen untuk membuat kriteria film Indonesia yang bermutu dan/atau tidak bermutu yang untuk menjadi pertimbangan Pasal 32 UU No. 33 Th. 2009 tentang Perfilman.
Rekomendasi kelima adalah meminta pemerintah segera intervensi dalam persoalan penyediaan layar film untuk film nasional Indonesia. Rekomendasi keenam mendorong pemerintah untuk menyediakan bioskop khusus untuk film-film Indonesia.
Ketujuh, mengusulkan untuk diajukannya kembali permohonan ke KPPU melalui pihak yang sesuai dengan perundang-undangan untuk menyoal adanya praktik monopoli di bisnis pertunjukan film bioskop. Delapan, meminta pemerintah segera melakukan sinkronisasi tupoksi perfilman antara Kemendikbudristek dan Kemenpar. Rekomendasi terakhir adalah mengusulkan kepada pemerintah agar penanganan industri film berada di satu kementerian.
“Perlu juga dibentuk Indonesia Film Watch untuk mengawasi agar penyelenggaraan perfilman nasional sesuai dengan arah dan tujuan sebagaimana diamanatkan UU No. 33 Th. 2009 tentang Perfilman. Lalu perlu juga dilanjutkan dengan menyiapkan kajian akademik sebagai upaya untuk merespons masalah di dalam industri perfilman nasional maka perlu dilakuan kajian-kajian strategis berbasis akademis. Harapannya output yang diberikan bisa menjadi solusi yang terukur dan rasional untuk mengkritisi kondisi industri film Indonesia saat ini sekaligus juga menjadi usaha mengawal implementasi UU No. 33 Tahun 2009 tentang Perfilman,” kata Benny Benke.
Kegiatan FGD yang dilakukan pada 3-5 April 2024 ini menghadirkan sejumlah pihak yang memiliki kepedulian dan interaksi sangat erat dengan perfilman Indonesia. Dari kalangan pembuat film hadir Lola Amaria dan Anggi Umbara. Kemudian dari dunia akademis diwakili oleh Dr Nurman Hakim dari Institut Kesenian Jakarta (IKJ). Hadir juga dari pemerintah yang diwakili dari Direktorat Perfilman, Musik dan Media Kemendikristek. Lalu kegiatan ini turut pula mengundang Djonny Syafruddin sebagai ketua Gabungan Pengelola Bioskop Seluruh Indonesia (GPBSI) yang sayangnya membatalkan kehadiran pada saat pelaksanaan.