Panggung Musik Dipusaran Pandemik, Siapa Melindungi Siapa?

Music280 Dilihat

Urbannews Musik | Mengutip data yang dilansir oleh Koalisi Seni Indonesia, selama Pandemi Covid-19 yang degil itu bersarang di Indonesia, terdapat sekitar 113 konser, tur, serta festival musik dibatalkan atau ditunda. Maka, dapat dirasakan dampak virus corona ini bak monster yang secara drastis memporak-porandakan seluruh tatanan kehidupan yang sudah terbangun dari para pekerja seni, khususnya di dunia musik.

Menurut World Economic Forum, industri musik memiliki dua jalur keuntungan utama. Pertama melalui pertunjukan live atau offline yang menghasilkan 50% dari total keuntungan dan berasal dari jumlah penjualan tiket. Sementara kedua dari rekaman, yang termasuk pendapatan dari streaming, digital download, penjualan album fisik, dan pendapatan sinkronisasi (lisensi musik untuk games, TV, dan iklan).

Akibat dari bancana yang konon katanya nasional ini, para penggiat, pelaku maupun para pekerja seni musik lain turunannya, kehilangan pekerjaan. Otomatis, secara ekonomi alias penghasilannya pun ikut terdampak. Mereka sepi job, karena ada protokol kesehatan yang menganjurkan mereka dirumah saja, larangan berkegiatan yang melibatkan banyak orang guna mencegah penyebaran Covid-19.

Menukil tulisan diatas, lantas apa yang harus mereka lakukan?. Atau, seperti judul tulisan ini, panggung musik dipusaran pandemik, siapa melindungi siapa?. Ada catatan menarik yang mencuat, sepertinya klop dari acara virtual talkshow Orkesmu (Obrolan Kreatif Seputar Musik) dengan kupasan bertema “Tetap asik bermusik dalam adaptasi kebiasaan baru’ yang diinisiasi Direktorat Pengembangan SDM Ekonomi Kreatif, Kemenparekraf, Kamis, 9 Juli 2020 lalu.

IMG_20200711_094706

Acara yang berlangsung dari pagi hingga siang hari, yang di ikuti para penggiat juga wartawan ini, menghadirkan narasumber antara lain; Dr. Frans Teguh, MA, Plt. Deputi Bidang Sumber Daya dan Kelembagaan Kemenparekraf/Baparekraf, Dewa Budjana (musisi), Tya Subiakto (Komposer & Penata Musik Film), Harry ‘Koko’ Santoso (CEO Deteksi Production & Promotor Musik), dan Buddy Ace Nurdin (Ketua Indonesia Musik Forum).

IMG_20200711_094813

Dipandu Toar R.E. Mangaribi, sebagai moderator. Catatan menarik yang dimaksud diatas, para pekerja seni, termasuk artis penyanyi maupun musisi, dalam menghadapi segala persoalan, baik itu musibah atau bencana, tetap bertahan dengan caranya sendiri. Bukan cuma itu, bahkan kesadaran peduli kemanusiaan melebur bersama gerakan sosial masyarakat. Tanpa perlu dikomando, mereka bergerak tanpa cawe-cawe baik untuk dirinya sendiri, rekan sejawat maupun masyarakat yang butuh bantuan.

IMG_20200711_093914

Seperti Dewa Budjana misalnya. Dirinya bersama 65 gitaris Indonesia menggelar konser amal untuk para korban gempa di Lombok, Palu, dan Donggala. Menurut Budjana, keterlibatan dirinya tidak hanya sekedar tampil menggalang dana, tapi ia ikut mengawal hasil donasi sampai dilokasi bencana, dan menyaksikan pembangunan rumah sementara saat itu. Belum lama Ini, Budjana bersama 14 Musisi Indonesia meluncurkan single lagu “Satu Jalan”, untuk membantu keluarga pasien dan ibu pengusaha kecil yang terdampak Covid-19.

Tentunya, narasumber lainnya baik Tya Subiakto, Harry ‘Koko’ Santoso, juga Buddy ACe Nurdin sepakat, saat musisi berkumpul di dalamnya ada ruang hati yang saling bertemu menaut rasa dan asa, ada ruang berbagi energi untuk mereka saling peduli atas nama nurani kemanusiaan, tentu saja ada pula ruang silaturahmi untuk mereka saling menjaga persaudaraan. Jika seniman punya rasa peduli dan berbagi, lantas siapa yang peduli berbagi untuk seniman.

Pertanyaan ini, sebenarnya sangat mudah menemukan jawabannya. Jika saja, kita mau menelisik lebih jauh, selain mereka menghibur, kontribusi pajak seniman atau pekerja seni untuk negara. Sayangnya, para pelaku seni adalah aktor-aktor tak tampak dalam sebuah ekosistem yang masih kurang mendapat perhatian. Dalam pemulihan pasca pandemi, seni hampir pasti jadi yang terakhir diprioritaskan. Tapi, ya sudahlah! Hidup harus tetap berjalan, sebisa mungkin memahat kreatif dan merancang kegiatan.

IMG_20200711_093850

Kalau menurut Tya Subiakto, ditengah pandemi ini ada ruang kita untuk berfikir bagaimana bisa survive, menghadapi cobaan terberat seperti sekarang ini. Ada kesempatan kita untuk merenung dalam mengasah keterampilan. Lanjut Tya, ada tiga cara menyikapi kesempatan. Pertama, menunggu kesempatan. Kedua, mencari kesempatan. Dan, ketiga, menciptakan kesempatan. Namun saran Tya, pilihlah nomor 3. Karena kesempatan tidak selalu diulurkan begitu saja, terkadang bahkan sering kesempatan harus diciptakan.

IMG_20200711_093950

Dalam menciptakan kesempatan, tidak bisa lepas dari urusan berkreasi, atau kreatifitas. Seperti yang dikemukakan oleh Harry ‘Koko’ Santoso, bahwa kreatif itu dasarnya adalah dari yang kurang menjadi cukup hingga menjadi lebih, bahkan tidak ada menjadi ada. Tinggal bagaimana cara menciptakan kreatifitas sebanyak mungkin, hingga orang suka dan terinspirasi bahkan bisa menjadi sebuah gerakan bagi kehidupan masyarakat banyak.

Harry ‘Koko’ sendiri sedang merancang sebuah konser musik dan tari dari atas kapal dengan penonton dipinggir pantai dengan aturan protokol kesehatan. Dengan Spirits of Thousand Islands, event musik ini akan hadir banyak destinasi pariwisata khusus seperti: Jayapura, Merauke, Lombok, Bali, Surabaya, Banyuwangi, Pulau Komodo, dan lain-lain. Konser bertajuk “ARKA KINARI” ini, Koko melihat Indonesia adalah negara dengan garis pantai terpanjang di dunia.

IMG_20200711_093739

Sementara, Buddy ACe Nurdin menuturkan dalam kondisi pandemik saat menuju new normal, atau kehidupan baru. Ia mencoba menyitir sebuah ungkapan yang diutarakan oleh Descartes, filsuf ternama dari Prancis “Cogito ergo sum”. Artinya adalah: “aku berpikir maka aku ada”. Maksudnya kalimat tersebut menurut Buddy, membuktikan bahwa satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan seseorang sendiri. Keberadaan ini bisa dibuktikan dengan fakta bahwa ia bisa berpikir sendiri.

Apa yang diutarakan para narasumber seperti; Dewa Budjana, kesadaran peduli kemanusiaan melebur bersama gerakan sosial masyarakat. Tya Subiakto dengan ajakan menciptakan kesempatan, Harry ‘Koko’ Santoso mengajak semuanya harus tetap kreatif, sedangkan Buddy ACe Nurdin dengan berfikir maka aku ada. Semua yang dikemukan ada benarnya, dan idealnya ya seperti itu. Dalam kondisi pandemik seperti ini, untuk tetap bertahan berfikirlah kreatif, menciptakan kesempatan, dan berbagi enerji dengan yang lain.

Point-point tersebut cukup menarik, tapi semua itu bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki kapasitas mumpuni, dan sifatnya personal. Bagaimana dengan pekerjaseni lainnya, dimana penghidupan mereka hanya dari menanti atau menunggu adanya kesempatan permintaan. Misal; mereka yang berkutat di dunia panggung, lighting, sound system, dan genset, bersama kru-nya. Nah! Sejatinya mereka-mereka ini jadi fokus utama penerima bantuan. Atau, dibuatkan ruang berkesenian berjejaring secara kolektif sebagai pemantik, adanya gerakan solidaritas sosial untuk saling peduli.

/e20

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1 komentar