Urbannews | Di penghujung tahun, musik Indonesia seperti berdiri di depan cermin yang retak—bukan untuk meratapi pecahannya, tetapi untuk membaca pantulan yang berlapis. Ada wajah kegembiraan, ada pula gurat lelah yang tak sempat disamarkan oleh lampu panggung. Lagu-lagu lahir deras, seperti hujan di musim pancaroba: kadang manis, kadang mentah, kadang terlalu jujur untuk dipoles.
“Musik bukan sekadar bunyi; ia adalah nurani yang bergetar,” tulis seorang musisi muda saat merenungkan perjalanan tahun ini.
Kreativitas Tumbuh di Tengah Keterbatasan
Kamar tidur menjelma studio, gawai menjadi jembatan, dan algoritma menjadi penentu arah angin. Ada yang terdengar dan viral, ada yang tenggelam tanpa sempat pamit. Para musisi harus menjaga api penciptaan sambil menghitung ongkos hidup, merawat idealisme sambil mengelola kelelahan.
Kolaborasi lintas genre menjadi napas baru: pop bertemu folk, elektronik bersanding tradisi. Namun, di balik kreativitas itu, tetap ada dilema: royalti yang tersendat, panggung yang tak selalu ramah, dan kerja kreatif yang sering diminta murah atas nama “eksposur.”
Bahasa dan Tradisi: Keberanian yang Dibayar Mahal
Lirik-lirik kembali memeluk bahasa ibu, dialek-dialek daerah menembus arus utama, tradisi bersanding dengan teknologi tanpa kehilangan marwah. Tapi keberanian ini sering dibayar mahal: hak cipta rapuh, distribusi timpang, panggung belum setara. Musik diminta terus menyala, tetapi lilinnya ditiup angin kebijakan yang ragu.
“Kritik yang dinyanyikan bukan ancaman; ia adalah cermin,”
kata seorang penulis lagu senior.
Harapan di Tangan Para Musisi
Kebijakan bisa membuka pintu, tapi langkah tetap milik para musisi. Royalti yang adil bukan hadiah; ia adalah pengakuan atas kerja. Perlindungan bukan kemurahan hati; ia adalah tanggung jawab. Pendidikan musik bukan sekadar ornamen; ia adalah investasi kebudayaan jangka panjang. Semoga!
Musik Indonesia tak pernah sepenuhnya bergantung pada meja rapat dan keputusan. Ia hidup karena para musisinya memilih untuk bernyanyi, bahkan ketika panggung mengecil dan lampu meredup. Keadilan dan kejayaan, dalam metafora yang paling jujur, ada di tangan mereka—di jari kapalan, di suara serak, di keberanian untuk jujur pada rasa.
Pejalan Malam yang Tak Pernah Henti
Di ujung tahun, musik Indonesia bukan pemenang yang mengangkat piala, juga bukan pecundang yang tertunduk. Ia adalah pejalan malam, membawa ransel berisi mimpi, catatan utang, dan segenggam nada yang belum sempat dirapikan. Jalannya belum terang, tapi langkah tetap diayun. Karena harapan, seperti refrain lagu sederhana, terus dinyanyikan—dan selalu menemukan telinga yang setia.




