Monolog Musisi di Panggung Gelap

“Konon Musik Menyembuhkan, Tapi Dunia Musik Sering Kali Justru yang Melukai”

Lampu padam.
Penonton sudah pulang.
Yang tersisa cuma bau kabel panas, lantai yang lengket, dan aku—seorang musisi yang masih memegang gitar, bukan karena mau bernyanyi, tapi karena kalau dilepas, mungkin tanganku bakal meninju dinding.

Mari aku ceritakan sesuatu.
Sesuatu yang tidak masuk playlist Spotify mana pun.
Sesuatu yang tidak akan dibahas di workshop “How to Succeed in the Music Industry.”

Sesuatu yang pahit.
Pahitnya kayak kopi studio jam dua pagi yang dibeli pakai uang terakhir.

“Pengkhianatan? Ah, itu mah chord yang paling sering dipakai di dunia musik.”

Mau tahu rasanya?
Coba bayangin lo latihan tiap hari, nabung buat beli alat, bikin lagu dari hati, tapi…
Job manggung lo dicancel.
Tiba-tiba. Tanpa permisi.
Alasannya? Ada band lain yang mau dibayar murah.
Murah.
Kadang lebih murah dari harga sewa pick gitar.
Katanya industri ini soal kualitas?
Kenyataannya: sambutan paling meriah disediakan untuk mereka yang berani menawar harga diri sendiri.

“Keluarga” yang Pergi Manggung Tanpa Lo

Lo pernah nggak, bangun pagi, buka Instagram, dan—
jebret!
Ternyata band lo manggung.
Tanpa lo.
Dapat ucapan selamat dari orang lain dulu baru tahu lo diganti.
Sakitnya?
Mirip lihat mantan posting tunangannya.
Bedanya, ini bukan cinta.
Ini kerjaan.
Ini mimpi.
Dan lo ditinggal oleh orang-orang yang katanya “brotherhood.”

Bro?
Brotherhood?
Kadang rasanya lebih kayak betrayerhood.

Lagu yang Lo Sayang Ditendang Demi Harga Promo

Ini favoritku.
Lagu yang kau tulis sambil menahan air mata, sambil nyari rima di antara kegelisahan, mendadak diganti.
Kenapa?
Ada komposer lain yang mau dibayar seharga tiga porsi ayam geprek.

Jadi jelas sekarang:
Di dunia musik, yang dinilai bukan rasa.
Bukan cerita.
Bukan jiwa.
Tapi diskon.

Produksi Ditolak Karena Produser “Grosir”

Pitching sudah bagus.
Konsep matang.
Demo rapi.
Tapi kalah sama produser yang datang bawa paket hemat.
Di sinilah seni mati, saudara-saudara.
Bukan karena teknologi.
Bukan karena algoritma.
Tapi karena tawar-menawar ala pasar malam.

Musisi = Seniman? Tergantung. Kadang Mereka Mirip Politikus Besar yang Lupa Cermin.

Ada musisi yang bisa mainkan chord minor dengan jiwanya.
Ada juga musisi yang bisa memainkan orang dengan dalih solidaritas.
Yang depan ngomongnya manis:
“Tenang bro, kita jalan bareng.”
Yang belakang sudah siap menusuk supaya jalannya lebih lapang.
Musisi macam ini bukan hanya dua muka.
Mereka punya seluruh katalog ekspresi palsu, lengkap dengan efek reverb dan autotune moral.

Dan Buat Kalian, Para Musisi Baru… Dengerin Ini Baik-Baik.
Jangan gampang percaya senyuman.
Jangan percaya kata “family”.
Kalau perlu, setiap kali ada musisi lain bilang “kita saling support”, tanya dulu:
“Support yang beneran atau support yang ujung-ujungnya nyolong job?”

Tapi jangan salah.
Tidak semua gelap.
Masih ada orang-orang tulus, jujur, yang bikin musik bukan untuk menjatuhkan yang lain, tapi untuk membangun sesuatu yang indah.
Mereka jarang bicara lantang.
Karena dalam hiruk pikuk dunia musik, yang paling tulus sering paling pelan.
Kalau ketemu orang-orang kayak gitu, peluk baik-baik.
Bukan secara fisik—nanti dikira creepy—tapi peluk dalam hati.
Pertahankan.
Karena mereka langka.

Akhirnya…
Musik selalu punya dua sisi:
Sisi terang yang bikin lo jatuh cinta,
dan sisi gelap yang bikin lo dewasa (atau patah hati).

Kalau lo tetap mau masuk dunia ini, silakan.
Tapi bawa pelindung hati.
Bawa keberanian.
Dan yang paling penting:
Jangan biarkan dunia musik yang kotor mengotori musik dalam dirimu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *