Merawat Naskah Kuno Lewat Batik Puro Pakualaman

Art & Culture562 Dilihat

20181121_152552-692x482

Urbannews Art&Culture| Indonesia adalah negara yang kaya akan warisan budaya dengan nilai yang tinggi. Warisan budaya adiluhung ini, sekaligus mencerminkan identitas bangsa yang besar. Satu di antaranya, warisan paling di banggakan yaitu Batik. Apalagi, sejak tahun 2009, Batik sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia telah masuk daftar Unesco dalam kriteria ‘Representative List of Intangible Cultural Heritage of Humanity”, dan sampai hari ini sudah sangat dikenal di dunia internasional.

Bicara Batik tidak hanya sekedar selembar kain dengan motif tertentu, tetapi batik merupakan Jati diri bangsa Indonesia. Dalam selembar batik ada nilai, makna, fungsi sosial dan budaya. Dalam selembar batik ada kesabaran, ketekunan dan olah rasa. Dalam batik ada unsur ekonomi yang dapat mendorong ekonomi berkelanjutan, itulah maka Batik disebut Warisan Budaya Takbenda. Ketika batik telah mendunia, mulai muncul permasalahan ketika orang hanya sekedar mengenakan Tekstil motif Batik tanpa tahu makna, nilai, fungsi sosial budayanya.

Ada lebih dari 5000 jenis motif batik yang sudah di data oleh Komunitas Sobat Budaya Indonesia, berdasarkan masukan dari jaringan sobat budaya yang tersebar di seluruh Indonesia. Motif-motif tersebut selain motif tua, juga ada bahkan lebih banyak motif-motif baru dan pengembangannya. Namun, pada umumnya orang belum mengetahui bahwa penciptaan motif batik yang adiluhung ini merupakan proses yang panjang. Ada ketelitian, kesabaran, dan bahkan setiap garis, bentuk, serta pewarnaan memiliki cerita tersendiri termasuk makna filosofi berdasarkan sejarahnyà.

Seperti, menggali kembali motif-motif tua dan sakral yang bersumber dari naskah-naskah kuno. Kepedulian terhadap budaya bangsa Indonesia, salah satunya adalah dengan cara merawat dan melestarikan Batik bersama sejarahnya. Ungkapan “tak kenal maka tak sayang”, digunakan KGPAA Paku Alam Yogyakarta sebagai pendorong digelarnya acara bincang santai, workshop, dan pameran dengan tema ‘Batik Puro Pakualaman’, yang digelar selama 3 hari mulai dari tanggal 21 November 2018, di Gelari 6 Cemara, Hos Cokroaminoto, Menteng. Acara ini digelar, untuk menumbuhkan kepedulian kita terhadap budaya yang kita miliki.

Ada sekitar belasan karya Batik Puro Pakualaman di pamerkan, lengkap dengan catatan riwayatnya serta filosofinya. Ada batik yang dibuat berdasarkan sumber naskah kuno, misalnya; seperti Pepadan Mijil diambil dari naskah Babar Palupyan, Pepadan Sinom dari naskah Sestradiduhul, Pepadan Kinanthy dari naskah Babad Dipenogoro Jilid 1, dan sebagainya. Kemudian, ada pula berdasarkan tokoh pewayang dengan karakternya, seperti Indra Widagda, Bethara Kasatala, atau Yama Linapsih.

Menurut Dr. Sri Ratna Saktimulya, M. Hum, Dosen Jurusan Sastra Nusantara Univ. Gadjah Mada, yang kini menjadi abdi dalem di Pura Pakualaman, khususnya mengelola perpustakaan Widyabudaya. Batik Puro Pakualaman adalah salah satu bentuk, merawat sejarah sekaligus pendokumentasian lewat batik. “Kami berharap, kegiatan ini dapat bemanfaat bagi masyarakat yang ingin mengenal lebih dekat sejarah batik, khususnya Batik Puro Pakualaman,” ujar Nyi Mas Tumenggung Sestrorukmi sebutan Sri Ratna, mewakili Gusti Putri Paku Alam yang berhalangan hadir, Rabu (22/11) siang di Jakarta.

Dr. Nadjamuddin Ramly, M.Si, Direkrur Warisan dan Diplomasi Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, yang hadir membuka acara tersebut. Dalam sambutannya mengatakan, setelah batik ditetapkan sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbenda oleh UNESCO pada 2 Oktober 2009. Pada tanggal tersebut, akhirnya ditetapkan pula sebagai Hari Batik Nasional, dimana setiap hari tersebut, beragam lapisan masyarakat dari pejabat pemerintah dan pegawai BUMN hingga pelajar disarankan untuk mengenakan batik.

Lebih lanjut, Dr. Nadjamuddin Ramly, M.Si, mengungkapkan, bahwa acara semacam ini sangat penting untuk diperkenalkan lebih luas lagi. “Batik bukan selembar kain dengan ragam bentuk motif di dalamnya. Lebih jauh, batik adalah sebuah artefak yang wajib dipelihara kelestarianya, dan juga diperkenalkan lebih luas lagi agar masyarakat ikut peduli. Untuk itu, Dikbud bersama Puro Pakualaman bisa memperkenalkannya lewat pameran yang di gelar di mall-mall. Kita tidak lagi menunggu mereka untuk melihat, tapi kita mendatangi mereka lebih dekat. Seperti kita ketahui, mall adalah pusat berkumpul banyak orang,” tutup Nadjamuddin Ramly.|Edo.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *