Urbannews | Pada 10 November 1975, di sebuah studio sunyi bernama Elstree Studios, London, empat siluet wajah menatap ke arah lampu—gelap, dramatis, dan hampir teatrikal. Bruce Gowers menekan tombol kamera, dan dunia tanpa sadar sedang menyaksikan kelahiran sebuah tonggak baru dalam sejarah industri musik. Video musik “Bohemian Rhapsody” milik Queen—yang kemudian meledak menjadi ikon budaya pop—bukan hanya pelengkap lagu, melainkan revolusi diam-diam yang mengubah cara musik dipersepsikan, dipromosikan, dan dialami.
Video sepanjang enam menit itu terasa seperti fragmen mimpi: pencahayaan yang dipahat seolah dari panggung opera, efek visual yang melampaui zamannya, dan transisi yang mengikuti struktur lagu yang tak pernah tunduk pada formula. Di era ketika TV menjadi medium paling berpengaruh, video tersebut membuat perusahaan rekaman menyadari satu hal penting: musik bukan lagi sekadar audio; ia adalah pengalaman visual.
Namun ada alasan yang lebih intim mengapa video itu begitu penting. “Bohemian Rhapsody”—dengan kerumitan komposisi serta harmoni vokal bertingkat yang direkam berulang kali—tidak mungkin dimainkan sepenuhnya secara live. Saat bagian operatik meledak dengan paduan suara “Galileo, Galileo!”, video tersebut menjadi jembatan yang menyempurnakan pertunjukan Queen. Ia bukan promosi; ia adalah solusi artistik.
Dari sinilah kita belajar bahwa video musik, di banyak titik sejarahnya, telah bekerja sebagai separuh jiwa lagu. Ia bukan sekadar wajah dari sebuah karya, tetapi juga nyawa visual yang membantu musik mencapai penonton dengan pengalaman yang utuh.
Kembalinya Kesadaran: Indonesia dan Masa Depan Video Musik

Di tengah derasnya arus digital hari ini—ketika platform streaming menampilkan jutaan video dalam hitungan detik—kesadaran tentang pentingnya musik video semakin vital. Bukan hanya demi estetika, tapi demi identitas musik itu sendiri.
Oleg Sanchabakhtiar, kreator musik video Indonesia dan salah satu inisiator lahirnya Indonesian Music Video Awards (IMVA), merasakan keresahan serupa. Menurutnya, video musik Indonesia telah berkembang dengan pesat, namun penghargaan dan ruang apresiasi terhadap para kreatornya tidak tumbuh setara.
“Musik video adalah bahasa lain dari musik. Jika musik adalah suara, maka video adalah wujudnya,” ujar Oleg dalam sebuah kesempatan. Baginya, menghidupkan kembali IMVA bukan hanya soal ajang penghargaan, melainkan upaya membangun kembali ekosistem kreatif yang memberi tempat bagi sutradara, sinematografer, penata cahaya, editor, dan semua tangan di balik layar yang membuat sebuah lagu hidup dalam bentuk gambar.
IMVA, yang akan kembali digelar, bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan penanda bahwa Indonesia memandang musik video sebagai medium seni yang utuh—sama pentingnya dengan lagu itu sendiri. Di era dominasi visual, tempat apresiasi bagi para kreator bukan hanya penting, tetapi mendesak.
Lompatan Masa Depan
Dari siluet empat wajah Queen yang tersorot lampu pada 1975 hingga karya kreator muda Indonesia yang membanjiri platform digital hari ini, musik video telah menjadi ruang pertemuan antara teknologi, seni, dan imajinasi. Ia adalah medium yang mampu menjelaskan hal-hal yang tak sempat ditulis dalam lirik, atau yang terlalu abstrak untuk dinyanyikan.
Dan seperti “Bohemian Rhapsody” yang pernah menyelamatkan pertunjukan live Queen, musik video mungkin akan kembali menyelamatkan industri musik—dengan memberi pengalaman baru yang tak bisa digantikan algoritma.
Di sinilah pentingnya IMVA, dan pentingnya kembali merayakan para perajut visual lagu. Sebab pada akhirnya, musik tidak hanya didengar; ia juga ingin dilihat.




