Urbannews | Pagi di Tebet selalu punya semacam irama. Bising lalu lintas, pedagang sarapan, dan suara pintu-pintu toko yang berderit bersahutan. Tapi di salah satu gang yang agak tersembunyi, ada bunyi lain yang lebih pelan tapi khas: hentakan palu kecil, gesekan amplas, dan desis mesin jahit kulit yang sudah menua. Di dalam bengkel dengan papan nama kayu bertuliskan Sparrows Leather Work, seorang pria berusia awal empat puluhan sedang menunduk serius di atas potongan kulit berwarna cokelat tua.
Dialah Zoel, pendiri sekaligus penggerak jiwa dari Sparrows Leather Work — sebuah rumah kecil bagi sepatu buatan tangan yang sudah bertahan lebih dari lima belas tahun di tengah perubahan zaman yang cepat dan keras.
Dari tempat inilah lahir sepatu-sepatu yang dipakai para musisi, biker, dan pecinta keaslian; karya yang bukan sekadar alas kaki, tapi perpanjangan dari karakter, kepribadian, bahkan perjalanan hidup.
Awal: Dari Sebuah Mesin Jahit dan Keyakinan
“Dulu saya cuma punya satu mesin jahit tua, sama niat buat bikin sepatu yang awet,” kenang Zoel sambil tersenyum, saat sore menjelang malam di hari Kamis (30/10), berkunjung ke workshop sekaligus ruang’ pamer di Tebet Dalam Raya. Ia bercerita tentang awal mula di tahun-tahun muda ketika bekerja sebagai pembuat sepatu di salah satu workshop kecil. Dari sana ia belajar tentang kulit, jahitan, dan — yang lebih penting — kesabaran.
“Saya lihat banyak produk bagus, tapi nggak ada yang benar-benar personal. Saya pingin bikin sepatu yang punya cerita,” ujarnya.
Tahun itu, dengan modal seadanya, ia mulai Sparrows Leather Work di rumah kontrakan kecil di Tebet. Nama Sparrows dipilih bukan tanpa makna. Burung pipit — kecil, tangguh, terbang rendah tapi tak pernah kehilangan arah — mencerminkan semangat Zoel sendiri.
Ia tahu langkahnya akan pelan. Tapi ia juga tahu, arah itu tak boleh hilang.
Ritual di Ruang Kerja
Bengkel Zoel bukan tempat glamor. Dindingnya dihiasi foto-foto pelanggan yang jadi teman, berderet boots kulit berjejer berbagai warna, dan sketsa desain sepatu yang terpajang seadanya, ada meja panjang penuh alat: palu, gunting, benang nilon, lilin, lem, mesin jahit dan segelas kopi yang sudah dingin.
Setiap sepatu dimulai dari obrolan. Pelanggan datang membawa ide, gaya hidup, atau sekadar rasa penasaran. “Kadang mereka cuma bilang: ‘Gue pengin sepatu yang bisa dipakai main musik di panggung.’ Ya udah, saya tanya dulu karakternya kayak apa, baru saya gambar,” Zoel menjelaskan.
Di Sparrows, setiap potongan kulit diperlakukan seperti kain suci. Tidak ada yang terburu-buru, tidak ada yang seragam. Sepasang sepatu bisa butuh waktu dua minggu sampai sebulan. Tapi di situlah letak keindahannya — handmade yang benar-benar handmade, bukan sekadar label.
Musisi dan Sepatu yang Punya Cerita
Entah bagaimana, Sparrows menemukan jalannya sendiri ke lingkaran para musisi juga biker kota. Dari mulut ke mulut, dari panggung kecil sampai kafe, nama Sparrows disebut. Sepatu buatan Zoel mulai muncul di kaki para gitaris dan vokalis, menjadi bagian dari gaya hidup yang tidak dibuat-buat.
“Saya nggak pernah endorse siapa-siapa,” kata Zoel. “Tapi mungkin karena sepatu ini memang dibuat dengan perasaan, orang bisa ngerasain.”
Salah satu pelanggan tetapnya adalah seorang pemain bas dari band indie yang cukup dikenal di Jakarta. Ia datang pertama kali karena melihat sepatu Sparrows di kaki temannya di sebuah gig. “Katanya enak banget, tahan banting. Ternyata benar,” ujarnya suatu kali sambil tertawa. “Sepatu ini udah saya pakai manggung ke luar kota, kehujanan, kena lumpur — tapi tetap nyaman.”
Dari situ, nama Sparrows makin dikenal di kalangan musik independen. Tapi Zoel tidak menganggapnya sebagai pencapaian komersial. Ia justru melihatnya sebagai pembuktian kecil bahwa kerja tangan bisa bicara lebih jujur daripada strategi pemasaran.
Naik Turun: Dari Euforia ke Titik Nol
Seperti banyak usaha kecil lain, Sparrows Leather Work juga melewati musim-musim surut. Pernah ada masa ketika pesanan menurun drastis. Bahan kulit naik harga, alat rusak, sementara tagihan tetap datang. Zoel sempat menutup bengkelnya selama beberapa bulan. Ia mengaku itu masa tersulit dalam hidupnya.
“Waktu itu saya sampai bingung, harus mulai dari mana lagi. Bahkan, saya sempat ngemper jualan sendal di Bogor,” tuturnya pelan. “Saya pikir mungkin ini tandanya berhenti saja.”
Namun diam-diam, pelanggan lamanya mulai menghubungi lagi. Satu per satu pesanan kecil datang, sekadar untuk reparasi atau bikin ulang model lama. Dari sana, Zoel pelan-pelan bangkit. Ia kembali ke akar: fokus pada kualitas, bukan kuantitas.
“Saya sadar, yang bikin Sparrows bertahan itu bukan banyaknya pesanan, tapi kepercayaan,” katanya.
Tim Kecil, Jiwa yang Satu
Kini Zoel memang tak bekerja sendirian. Ia punya beberapa pekerja yang sebagian besar tumbuh dari nol di bawah bimbingannya. Mereka bukan sekadar pegawai; mereka bagian dari cerita.
Salah satunya, sebut saja Dani, anak muda asal Jawa Tengah yang dulu datang hanya untuk belajar. Zoel mengajarinya dari dasar: memotong kulit, menjahit dengan tangan, hingga mengenali tekstur bahan dari baunya. Dalam waktu beberapa tahun, Dani menjadi tangan kanan Zoel. Ia dikenal teliti dan cepat belajar.
“Saya percaya sama dia,” kata Zoel. “Kadang dia lebih sabar dari saya.”
Tapi hidup kadang tidak sepenuhnya adil. Suatu hari, Dani mendapat tawaran dari salah satu tamu yang datang ke Sparrow. Mungkin is tergiur gaji lebih tinggi, fasilitas lebih baik. Ia pergi, tanpa banyak bicara.
“Rasanya kayak ditinggal anak sendiri,” Zoel mengaku. “Tapi saya juga nggak bisa tahan orang yang mau pergi. Saya cuma bilang dalam hati, jangan lupa dari mana kamu mulai.”
Beberapa bulan kemudian, Zoel mendengar kabar bahwa Dani keluar dari tempat barunya. “Katanya nggak cocok, dan nggak sesuai janji, katanya rindu suasana Sparrows,” ujarnya tersenyum getir. “Tapi ya begitulah, hidup selalu punya caranya sendiri untuk muter balik.”
Kisah itu menjadi pelajaran besar bagi Zoel — tentang keikhlasan, kehilangan, dan arti kepemimpinan yang manusiawi. Ia belajar bahwa membangun usaha bukan hanya soal produk, tapi juga tentang menumbuhkan jiwa di dalamnya.
Kembali ke Akar
Kini bengkel Sparrows di Tebet Dalam Raya terlihat lebih rapi, tapi tetap sederhana. Di pojok ruangan, masih ada mesin jahit tua yang menemani langkah awal Zoel. Di raknya, sepatu-sepatu baru berjejer, masing-masing dengan karakter yang berbeda: ada yang klasik, ada yang modern, ada yang tampak seperti artefak perjalanan. Ada pula, ada drumm set, gitar dan bass bersender.
Zoel tidak pernah lagi tergoda membuka toko besar atau memperluas produksi secara masif. “Saya pernah mencobanya, ujungnya bikin pusing, lebih suka tetap kecil tapi hidup,” ujarnya. “Kalau kebanyakan, nanti malah kehilangan rasa.”
Bagi Zoel, setiap sepatu adalah manifestasi waktu dan perasaan. Ia tahu betul pelanggan yang datang ke Sparrows bukan sekadar mencari barang, tapi mencari hubungan — dengan proses, dengan tangan yang membuat, dan dengan cerita yang menyertainya.
Sepatu Sebagai Metafora
Ada filosofi tersendiri yang ia pegang: “Sepatu itu bagian dari perjalanan manusia. Dia tahu kemana kamu pergi, dia juga tahu kapan kamu jatuh.”
Mungkin karena itu, Zoel tidak pernah membuat dua pasang sepatu yang sama persis. Bahkan jika modelnya serupa, akan selalu ada sedikit perbedaan — jahitan yang sedikit miring, warna yang tak sepenuhnya identik. “Itu tanda kalau dia hidup,” katanya.
Sepatu-sepatu Sparrows bukan sekadar aksesoris. Mereka seperti catatan kaki dari kehidupan: setiap goresan dan lecet adalah kenangan. Beberapa pelanggan bahkan datang kembali setelah bertahun-tahun hanya untuk memperbaiki sepatu lama, bukan karena rusak, tapi karena tidak ingin kehilangan bagian dari sejarah mereka.
Bangkit Lagi dan Terus Melangkah
Selepas pandemi, Sparrows sempat benar-benar di ambang mati. Permintaan turun tajam, bahan langka, dan bengkel sepi. Tapi justru dari krisis itulah lahir inovasi. Zoel mulai mengajar workshop kecil untuk memperkenalkan seni membuat sepatu secara manual. “Saya ingin orang tahu, ini bukan cuma kerja tukang. Ini seni,” katanya.
Dari situ, lahir komunitas kecil pecinta handcrafted footwear di Jakarta. Beberapa di antaranya bahkan kemudian membuka usaha sendiri, dengan gaya masing-masing. Zoel tidak melihat mereka sebagai pesaing. “Kalau kita bisa tumbuh bareng, kenapa harus takut?” ujarnya.
Kini, Sparrows Leather Work kembali ramai. Zoel dan timnya mengerjakan pesanan dari dalam dan luar negeri. Tapi di balik semua itu, satu hal tidak berubah: dedikasi pada ketulusan kerja tangan.
Burung Pipit yang Tak Lelah Terbang
Menjelang sore, cahaya matahari masuk lewat kisi jendela, menimpa tumpukan kulit di meja kerja. Zoel menatap hasil jahitannya dengan tatapan puas — bukan karena sempurna, tapi karena ia tahu setiap benang di situ adalah bagian dari dirinya sendiri.
“Saya nggak tahu apakah nanti nama Sparrows akan besar atau nggak,” katanya pelan. “Yang saya tahu, saya pengin tetap bisa kerja dengan cara yang jujur. Itu saja.”
Di luar, suara azan magrib terdengar samar. Tebet mulai ramai lagi. Zoel menyalakan lampu gantung kecil di bengkelnya, lalu melanjutkan pekerjaan — satu sepatu lagi, satu langkah lagi.
Seperti burung pipit yang namanya ia sematkan, Sparrows terus terbang rendah di antara hiruk-pikuk dunia, membawa pesan sederhana: bahwa keindahan lahir dari keteguhan, dan keteguhan hanya bisa tumbuh dari cinta yang tak pernah menyerah.
