Membenahi Ekosistem Musik Indonesia: Di Antara Nada, Kata, dan Kuasa

Urbannews | Musik selalu lahir lebih cepat daripada ingatan. Ia mengalun di panggung, berpindah dari speaker ke gawai, lalu menghilang ditelan tren. Di tengah perputaran itu, ada yang memilih tidak ikut berlari: mereka yang mencatat, mengkritik, dan merawat makna. Namun dalam percakapan tentang industri dan ekosistem musik Indonesia, suara mereka—terutama jurnalis musik—kerap tertinggal di belakang tabir.

Membenahi ekosistem musik tidak bisa dimulai dari angka semata. Ia harus dimulai dari kesadaran bahwa musik adalah praktik budaya, bukan sekadar komoditas.

Ekosistem Musik sebagai Sistem Sosial-Budaya

Dalam kajian budaya dan sosiologi musik, industri musik dipahami sebagai sistem sosial-budaya—arena tempat karya diproduksi, makna dinegosiasikan, dan selera dibentuk. Pierre Bourdieu menyebutnya sebagai field of cultural production, ruang relasi kuasa antara aktor-aktor yang saling bertukar modal ekonomi, simbolik, dan kultural.

Ekosistem musik hidup dari jejaring yang kompleks: musisi, pencipta lagu, label, manajemen, penyelenggara acara, komunitas, media, platform digital, hingga negara. Namun di Indonesia, pembenahan ekosistem masih sering berlangsung secara top-down. Kebijakan dan wacana industri dirumuskan oleh aktor bermodal besar, sementara penggiat komunitas—yang memahami realitas lapangan—kerap tersingkir dari proses pengambilan keputusan.

Akibatnya, persoalan struktural seperti ketimpangan royalti, akses panggung, dan kerja layak terus berulang. Dalam perspektif ekonomi politik budaya, ekosistem yang sehat tidak dibangun melalui dominasi, melainkan kolaborasi. Partisipasi penggiat bukan pelengkap, melainkan syarat keberlanjutan.

Jurnalis Musik: Cultural Intermediaries yang Terpinggirkan

Di antara para penggiat musik, jurnalis musik menempati posisi paradoksal. Mereka hadir dari proses dokumentasi hingga kritik, tetapi jarang diakui sebagai bagian integral industri. Dalam kajian media, jurnalis musik dipahami sebagai cultural intermediaries: produsen wacana yang menjembatani karya dengan publik sekaligus membangun arsip dan sejarah musik.

Namun dalam praktik industri kontemporer, peran ini direduksi menjadi alat promosi. Kritik dianggap mengganggu stabilitas pasar, sementara kerja analitis dinilai tidak produktif secara ekonomi. Dalam kondisi yang oleh Mark Fisher disebut capitalist realism, kritik kerap dianggap tidak relevan, bahkan tidak diperlukan.

Akibatnya, jurnalis musik kerap “ditabir mimpi”: diundang ketika dibutuhkan, diabaikan ketika bersuara.

Dampak Kultural dan Struktural

Pengabaian terhadap jurnalisme musik membawa konsekuensi serius. Musik kehilangan konteks dan sejarahnya, industri minim refleksi dan akuntabilitas, diskursus publik menjadi dangkal dan promosi-sentris, sementara inovasi estetika berjalan tanpa arah kritis.

Simon Frith mengingatkan bahwa kritik musik bukan soal selera, melainkan soal menjaga musik sebagai praktik sosial yang bermakna. Tanpa kritik dan pencatatan, ekosistem musik berisiko tumbuh besar tetapi rapuh—kuat secara pasar, lemah secara budaya.

Setiap musik membutuhkan panggung, tetapi juga membutuhkan ingatan. Di tengah industri yang gemar merayakan viralitas, jurnalis musik memilih merawat makna. Mereka menulis agar musik tidak sekadar terdengar, tetapi dipahami; tidak hanya laku, tetapi juga tinggal.

Membenahi ekosistem musik Indonesia berarti membuka ruang bagi semua penggiat—termasuk mereka yang bekerja di balik layar kata. Sebab ekosistem yang menyingkirkan kritik dan narasi, pada akhirnya, akan kehilangan kemampuan untuk bercermin.

Dan musik, tanpa cermin, hanya akan menjadi gema yang cepat berlalu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *