Melodi dalam Keheningan: Sebuah Cerita tentang Kebebasan dan Kreativitas

Di sebuah kota kecil yang dikelilingi oleh deretan pohon rindang, terdapat sebuah kedai kopi yang selalu ramai dikunjungi. Kedai itu adalah tempat di mana seorang pensiunan bernama Pak Budi menghabiskan hari-harinya. Setiap pagi, ia datang dengan langkah pelan, membawa buku catatan dan pulpen kesayangannya. Aroma kopi yang baru diseduh selalu menyambutnya, dan musik lawas yang mengalun lembut menjadi latar belakang yang sempurna untuk merenung.

Namun, belakangan ini, suasana di kedai kopi itu berubah. Kebijakan baru yang diterapkan oleh pemerintah setempat mengharuskan pemilik kedai, Ibu Sari, untuk membayar royalti atas setiap lagu yang diputar. Ketakutan akan teguran dan denda membuat Ibu Sari memutuskan untuk mematikan musik di kedainya. Suara riuh yang biasanya mengisi ruangan kini tergantikan oleh keheningan yang mencekam.

Pak Budi merasa kehilangan. Tanpa musik, suasana kedai yang dulu hangat dan akrab kini terasa dingin dan sunyi. Ia duduk di sudut favoritnya, menatap cangkir kopi yang mengepul, tetapi tidak ada nada yang mengalun untuk mengisi kekosongan di hatinya. Ia mulai merenungkan betapa anehnya kebijakan yang mengatur kebahagiaan orang-orang. Bagaimana mungkin suara yang seharusnya membawa keceriaan justru dihilangkan karena alasan yang tampaknya cacat logika?

Setiap hari, Pak Budi menulis di buku catatannya, mencurahkan pikirannya tentang kebebasan dan kebahagiaan. Ia menulis tentang bagaimana musik bisa menyatukan orang, menghapus jarak, dan menciptakan kenangan. Namun, kini, semua itu terancam hilang. Ia merasa terjebak dalam ketidakbebasan yang diciptakan oleh kebijakan yang tidak mempertimbangkan dampaknya terhadap jiwa manusia.

Suatu hari, saat ia sedang menulis, Ibu Sari mendekatinya dengan wajah resah. “Maaf, Pak Budi. Saya harus mematikan musik. Bahkan, kemarin saya dengar dari berita, suara alam seperti burung pun bisa dipungut royalti. Saya takut jika tidak, saya akan dikenakan denda yang besar,” katanya dengan suara pelan. Pak Budi mengangguk, memahami ketakutan yang dirasakan pemilik kedai. Namun, ia tidak bisa menahan diri untuk tidak berbicara.

Ternyata, yang dibutuhkan bukan hanya sistem pemungutan yang canggih, tapi juga komunikasi publik yang jernih, masuk akal, dan manusiawi. Bukan ancaman atau pernyataan mengawang yang membuat rakyat bingung dan enggan bekerja sama. Hukum yang baik bukan yang memaksa semua orang tunduk, tapi yang membuat mereka rela patuh.

“Ibu Sari, apakah kita tidak bisa mencari cara lain? Musik adalah bagian dari hidup kita. Tanpa itu, kita kehilangan sesuatu yang berharga,” ujarnya. Ibu Sari terdiam, merenungkan kata-kata Pak Budi.

Akhirnya, Pak Budi mengusulkan sebuah ide. “Bagaimana jika kita mengadakan malam puisi atau cerita? Kita bisa mengundang orang-orang untuk berbagi cerita dan puisi mereka. Tanpa musik, tetapi tetap merayakan seni dan kebersamaan.”

Ibu Sari tersenyum, seolah cahaya baru muncul di wajahnya. “Itu ide yang bagus, Pak Budi! Kita bisa mengundang orang-orang untuk berbagi tanpa melanggar kebijakan.”

Malam itu, kedai kopi kembali hidup. Suara tawa dan cerita mengisi ruangan, menggantikan keheningan yang menyakitkan. Pak Budi merasa bahagia melihat orang-orang berkumpul, berbagi kisah dan tawa. Ia menyadari bahwa meskipun kebijakan yang ada mungkin cacat logika, kreativitas dan semangat manusia tidak akan pernah padam.

Dengan secangkir kopi di tangan, Pak Budi menulis di buku catatannya, “Kebahagiaan tidak selalu datang dari kebebasan yang sempurna, tetapi dari kemampuan kita untuk menemukan cara baru untuk merayakan hidup, bahkan dalam keterbatasan.”

Oleh: Edo Maitreya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *