Jakarta, UrbannewsID.| Cerita bertema kerajaan acapkali menarik jika diangkat kedalam sebuah panggung pertunjukan, termasuk film layar lebar. Drama historikal biasanya memiliki nilai edukasi, memberikan pengetahuan sejarah serta budaya lewat kisah dan visual yang menarik. Penonton tidak perlu takut akan kebosanan, karena drama historikal biasanya dipenuhi dengan adegan aksi atau intrik kerajaan yang seru!
Seperti yang sedang dilakukan sutradara bertangan dingin, Hanung Bramantyo, bersiap-siap untuk mempersembahkan sebuah film bedatar belakang sejarah berjudul ”Sultan Agung : Tahta, Perjuangan dan Cinta”. Hanung mencoba menelusuri jejak sejarah kehidupan Sultan Agung untuk diangkat menjadi tema utama film drama kolosal yakni tentang pengorbanan dan cinta tanah air.
Dipilihnya sebagian Kisah Hidup Raja Mataram Pertama Sultan Agung ini bukan tanpa alasan. Karena, Sultan Agung memiliki semangat untuk kembali mempersatukan Nusantara yang kala itu sedang terpecah pecah karena perebutan kekuasaan dan juga dikuasai oleh penjajah Belanda dengan kedok perdagangan rempah di bawah nama VOC.
Film yang ide dan gagasannya lahir dari tokoh terkenal yang bergerak dibidang Industri kecantikan jamu tradisional, Hj. DR. BRA. Mooryati Soedibyo, S.S., M. Hum. Pemilik dan pendiri perusahaan PT Mustika Ratu yang kini memasuki usia ke 90 tahun, menuturkan, ini salah satu caranya bersyukur dengan memberi warisan ”ilmu, adab perilaku, serta apresiasi terhadap Iingkungan di mana ia hidup.
“Film ‘Sultan Agung :Tahta, Perjuangan dan Cinta’ ini saya persembahkan kepada bangsa dan negara untuk menghidupkan kembali semangat kesatuan dan persatuan. Film ini juga ditujukan khusus bagi generasi penerus agar mengenal dan menghargai perjuangan pahlawan kita. Salah satunya adalah Sultan Agung” tambahnya, dalam acara preskon ditempat tinggalnya di kawasan Menteng, Jakarta, Selasa (15/8) sore.
Menurut cucu Sri Susuhunan Pakoe Boewono X dari Keraton Surakarta, sekalgus juga sebagai Executive Producer, “Pada saat diangkat jadi Raja Mataram pertama, Sultan Agung sempat bimbang. Apakah menerima wasiat ayahnya untuk menjadi raja, atau terus menimba ilmu di padepokan sambil memadu kasih dengan Dyah Rara Lembayung. lni pasti tidaklah mudah. Lewat film ini, pesan moraI akan tergambarkan,” papar Ibu Moor.
Latar belakang sejarah ”Sultan Agung” terekam dalam kurun waktu kepemimpinnya tahun 1613 hingga 1645. Setelah Ayahandanya, Panembahan Hanyokrowati meninggal di Hutan Krapyak, puteranya yang bernama Raden Mas Rangsang menerima Surat Wasiat untuk menggantikannya. Peristiwa pada tahun 1613 ini menjadikan Raden Mas Rangsang menjadi Raja Mataram adalah sesuatu yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya.
Karena sesungguhnya Raden Mas Rangsang Iebih tertarik mendalami ilmu kehidupan dan budi pekerti, kanuragan, serta kebudayaan di padepokan Ki Jejer. Apalagi Raden Mas Rangsang tengah menjalin asmara dengan Dyah Rara Lembayung, teman seperguruannya. Namun demi sebuah cita-cita luhur, pada saat itu Mataram adalah kerajaan pewaris Majapahit yang memiliki tanggungjawab menyatukan kembali nusantara.
Ditambah lagi, Sumpah Amukti Palapa dari Mahapatih Gadjah Mada harus segera diwujudkan agar Nusantara harus kembali menyatu seperti di Jaman Majapahit dahulu. Mas Rangsang mengorbankan cintanya dan menerima amanah menjadi penerus Mataram dengan gelar Sultan Agung Hanyokrakusumo. Setelah menjadi Raja Mataram, Sultan Agung lalu mengambil langkah untuk menyatukan tanah Jawa di bawah panji panji Mataram.
Ia memerintahkan rakyat dan pasukannya agar segera melawan orangorang asing termasuk VOC yang telah menjarah sumber daya alam Nusantara dan membuat penduduk asli menjadi miskin dan kekurangan makan. Penyatuan tanah Jawa penuh perjuangan dan memakan waktu dari tahun 1618 hingga tahun 1627. Sultan Agung selaiu mengedepankan cara-cara dialogis, dan sama sekali tidak berniat menjajah. Namun jika cara tersebut gagal, Mataram tidak segan-segan memerangi demi cita-cita luhur menyatukan Nusantara.
Menarasikan kembali masa kejayaan Sultan Agung sebagai Raja Mataram, dibutuhkan akurasi data sejarah yang benar dan detail. Apalagi, jika ditarik mudur dari masa kelahirannya tahun 1593, kemudian masa kepemimpinnya dalam kurun waktu 32 tahun sejak beliau diangkat pada tahun 1613 hingga wafatnya tahun 1645. Untuk itu, Hanung melakukan berbagai riset dengan menggelar Focus Group Discussion (FGD) yang menghadirkan para sejarawan dan lainnya.
Begitu juga, merekontruksi ulang jejak peninggalan Kerajaan Mataram, khususnya dibawah kepemimpinan Sultan Agung sangat sulit. Terutama, Istana baru yang dibangun pada tahun 1614 di desa Karta, sekitar 5 km di sebelah barat daya Kota Gede, Jogjakarta, dan kemudian mulai ditempati pada tahun 1618. Bangunan Istana yang terbuat dari kayu, saat ini hanya menyisakan pondasinya saja. Sehingga, Hanung harus membuat kembali sesuai aslinya untuk kepentingan property filmnya.
Hanung manambahkan, untuk set benteng VOC di Batavia kemungkinan akan menggunakan Benteng Roterdam di Ujung Pandang dan Benteng Victoria di Ambon. Pasukan Sultan Agung saat itu, tidak saja menggunakan kuda sebagai kendaraan perangnya, tapi juga gajah dan perahu. Guna melengkapinya, khusus untuk gajah kemungkinan besar lokasinya dipilih daerah Lampung. Termasuk membuat miniatur perahu yang digunakan pasukan Sultan Agung untuk menyerang Batavia. Untuk penggambaran adegan kolosal ini akan menggunakan CGI.
Film yang menghadirkan pemeran utama Ario Bayu sebagai Sultan Agung, dan Puteri Indonesia 2015 Anindya Kusuma Putri sebagai Permaisuri. Akan ada sekitar 500 orang pemain terlibat termasuk pemain inti. “Sultan Agung itu pahlawan yang sangat besar jasanya kepada bangsa ini, tetapi ironisnya banyak yang tidak tahu siapa dia. Bahkan anak saya yang SMA dan isteri saya Zaskia Meca, tidak tahu siapa Sultan Agung. Mereka tahunya hanya nama tempat atau jalan. Oleh karena itu, ini menjadi tantangan yang besar untuk saya,” papar Hanung.|Edo (Foto Fjr)