Urbannews | Lima puluh tahun waktu berlalu, terhitung saat Guruh Soekarnoputra bertemu Keenan Nasution, saat ide-ide liar digulirkan dalam proses pengerjaan album. Namun dalam senyap sejarah, satu nama tetap menggema: Guruh Gipsy. Bukan sekadar grup musik, mereka adalah para penyihir suara—penjelajah antara gamelan dan rock, antara mantra Jawa dan kibor Moog, antara puisi cinta dan seruan kemerdekaan. Kini, di tahun 2025, mereka kembali. Bukan sebagai bayangan masa lalu, tetapi sebagai suara yang bangkit, menyulam harmoni baru di panggung Synchronize Festival.
Seperti gunung tua yang kembali berasap, Guruh Gipsy muncul di malam itu dengan aura yang tak biasa. Panggung utama Synchronize Festival 2025 berubah menjadi altar bunyi—tempat suara lama disajikan kembali, bukan sebagai nostalgia kering, tetapi sebagai ritus kebangkitan musikal.
Sorot lampu membuka tirai waktu
Guruh Soekarnoputra berdiri tegak—seperti dalang yang hendak memulai lakon semesta. Di sampingnya, Keenan Nasution dan Abadi Soesman sebagai founder yang tersisa, bersama para musisi lintas generasi seperti Andy /RIF dan Bubi Sutomo, menjadi penyambung zaman—jembatan antara angkatan yang menyaksikan dan angkatan yang mendengar lewat cerita.
Lagu pertama, “Barong Gundah” (Instrumental), mengalun seperti mantra. Denting gamelan bertaut dengan progresi rock dalam satu tarikan napas. Ada kegelisahan yang indah di sana—seolah menyiratkan bahwa dalam setiap perubahan zaman, selalu ada kekacauan yang melahirkan keindahan.
Lalu mengalunlah “Smaradhana” dari Daryl Nasution—puisi cinta dalam format simfoni. Nada-nada klasik berbaur dengan irama nusantara, menghadirkan percintaan yang bukan hanya antar insan, tapi antara masa lalu dan masa kini. Daryl Nasution lanjut dengan “Janger 1897 Saka” menjadi penanda betapa Gipsy tak pernah main-main dengan akar: ini bukan sekadar pertunjukan, tapi pelajaran bunyi tentang jati diri bangsa.
Berikutnya “Chopin Larung” bersama Andy /rif menjadi puncak kontemplasi. Lagu ini tak hanya larut dalam keindahan, tetapi menenggelamkan. Piano klasik Chopin dibasuh oleh larungan suara Nusantara—menyatu seperti air dan udara.
Sementara itu, “Geger Gelgel” lewat lantuman Irang Arkad menjadi ledakan. Bunyi-bunyi tradisi dan modern saling tabrak, saling silang—mewujudkan tema festival: #SalingSilang. Tak ada yang lebih tepat menggambarkan pertemuan lintas genre, lintas waktu, dan lintas jiwa, selain lagu ini.
Hingga tibalah pada klimaks: “Indonesia Maharddhika” bersama Keenan Nasution. Sebuah seruan. Sebuah doa. Sebuah janji. Penonton menyanyikan bait-baitnya dengan dada bergemuruh. Bukan sekadar lagu penutup, ini adalah proklamasi musikal. Bahwa musik Indonesia tidak tua, tidak muda—tapi maharddhika: merdeka sepenuhnya dalam identitasnya sendiri.
Setelah Denting Terakhir
Malam pun menutup tirainya perlahan, namun gema dari panggung itu tak kunjung usai. Di antara langkah-langkah pulang dan debur emosi yang masih mengendap di dada, konser Guruh Gipsy di Synchronize Festival 2025 tidak hanya selesai—ia berbekas. Seperti embun yang tak terlihat namun menghidupi pagi, suara-suara yang lahir malam itu menyusup ke ruang-ruang batin, menetap dalam diam yang panjang.
Karena sejatinya, Guruh Gipsy tak sedang tampil. Mereka sedang menuliskan ulang bab dalam buku panjang kebudayaan Indonesia—dengan tinta yang berasal dari gamelan, gesekan biola, lengking gitar, dan lantunan jiwa. Di atas altar bunyi itu, mereka tidak mengulang sejarah; mereka melampauinya.
Lima puluh tahun bukan waktu yang pendek, tetapi di tangan para penjaga warisan seperti Guruh Soekarnoputra dan kawan-kawan lintas generasi, waktu justru menjadi benang tenun yang menyulam masa lalu dan masa kini dalam satu lembar mahakarya bunyi. Ini bukan perayaan, ini pewahyuan. Sebuah kesaksian bahwa musik Indonesia bisa menua tanpa pernah usang—karena ia tumbuh dari akar, namun selalu menengadah ke langit.
Dalam tiap lagu, ada pesan yang menyamar menjadi nada. Dalam tiap sorot mata penonton, ada tangis kecil yang menyamar jadi tepuk tangan. Guruh Gipsy malam itu bukan sedang bernyanyi untuk dikenang, tapi sedang membangunkan kita—bahwa bangsa ini punya suara sendiri, dan ia terlalu indah untuk dilupakan, terlalu kuat untuk dibungkam.
Dan ketika lampu padam dan bunyi terakhir meluruh dalam senyap, satu hal menjadi terang: Guruh Gipsy bukan sekadar legenda. Mereka adalah janji yang ditepati. Bahwa selama tanah ini masih punya jiwa, musiknya akan selalu maharddhika—merdeka dalam ekspresi, bebas dalam bentuk, dan tulus dalam cinta kepada ibu pertiwi.
Di tengah lautan manusia malam itu, Guruh Gipsy tak hanya tampil, tapi menghidup. Mereka tak hadir sebagai legenda yang ditonton, tapi sebagai suara yang menghidupkan: ingatan, identitas, dan semangat zaman. Kini waktu boleh terus berlari. Tapi malam itu, di panggung Synchronize Festival 2025, satu bab sejarah telah disulam kembali—bukan untuk dikenang, tapi untuk diteruskan.
Foto: Dok. Aria Sungkono