Konferensi Musik Indonesia 2025: Dari Nada yang Sunyi Bisakah Menuju Irama Kebijakan

Urbannews | Di tengah pusaran industri yang terus berlari, musik Indonesia pernah berhenti sejenak di Ambon, 2018. Bukan untuk diam, tapi untuk mendengar—suara musisi, pekerja seni, penggiat budaya—yang selama ini terpinggir di antara hiruk-pikuk hiburan dan eksploitasi. Di sanalah, Konferensi Musik Indonesia (KAMI) lahir dari visi Glenn Fredly: menjadikan musik bukan hanya ekspresi, tapi juga profesi yang diakui dan dilindungi negara.

Dari Ambon, kita tak hanya mendapat kenangan, tetapi warisan: 12 butir rekomendasi diserahkan kepada presiden, berisi mimpi yang konkret—pendataan musisi yang rapi, pendidikan musik yang merata, perlindungan hak cipta, hingga infrastruktur yang layak. Sebuah partitur kebijakan yang mencoba menyelaraskan antara idealisme dan realitas, antara industri dan budaya.

KAMI di Ambon memang berhasil memulai diskursus besar dan konkret: merumuskan visi bersama, rencana aksi, institusi, branding internasional, dan kegiatan nyata. Namun realitas menunjukkan bahwa banyak dari rekomendasi konferensi belum sepenuhnya terealisasi, atau jika sudah, efektivitasnya masih terbatas, tersebar tetapi belum merata.

Keberlanjutan, konsistensi dalam kebijakan, pendanaan, fasilitasi lokal, dan pengukuran dampak menjadi kunci agar gagasan besar itu tidak hanya menjadi retorika atau event sesekali, tapi benar-benar mengubah lanskap industri musik di Indonesia — terutama di daerah seperti Ambon.

Lalu Bandung 2019, konferensi kedua, menghadirkan diskursus yang lebih tajam dan politis: serikat pekerja musik, panen royalti, dan sosialisasi UU Ekonomi Kreatif. Tiga tema yang menyuarakan kesadaran baru—bahwa musik bukan hanya panggung dan tepuk tangan, tetapi juga kontrak kerja, perlindungan hukum, dan keadilan ekonomi. Bahwa musisi, seperti buruh lainnya, punya hak untuk bersuara, berserikat, dan hidup layak.

Namun kenyataannya masih banyak tantangan struktural: regulasi lokal yang kadang menghambat, infrastruktur dan sumber daya yang belum merata, nasib musisi kecil/komunitas belum sepenuhnya dilindungi, royalti dan sistem manajemen hak cipta masih belum optimal.

Kini, ada perubahan lanskap digital yang mengguncang banyak sendi, Kementerian Kebudayaan ikutan untuk kembali menggelar Konferensi Musik Indonesia (KMI) di Jakarta, Oktober 2025. Momentum ini bukan hanya lanjutan dari yang lalu, tapi kesempatan langka untuk menyusun ulang peta jalan industri musik nasional—yang selama ini bergerak tanpa arah kebijakan yang terpadu.

Jakarta, dengan segala simbol sentralismenya, kini diharapkan menjadi titik temu, bukan dominasi. KMI 2025 harus jadi ruang yang mendengarkan mereka yang sering dilupakan: musisi daerah, komunitas akar rumput, pekerja di balik layar, dan generasi muda yang bertumbuh di tengah algoritma.

Pertanyaannya: apakah konferensi ini akan menjadi crescendo dari perjuangan panjang, atau hanya interlude—selingan tanpa resolusi?

Kita butuh lebih dari sekadar pernyataan niat. Kita butuh keberpihakan nyata. Sebab industri ini, meski tampak gemerlap, menyimpan banyak disonansi: ketimpangan royalti, absennya jaminan sosial, minimnya pendidikan formal musik, hingga praktik eksploitatif dari hulu ke hilir.

Maka, jika KAMI lahir dari suara hati seorang Glenn Fredly, KMI harus lahir dari kesadaran kolektif bangsa: bahwa musik adalah kekuatan lunak (soft power), warisan budaya, dan sumber penghidupan yang sah.

Musik Indonesia tak butuh dikasihani. Ia hanya ingin didengarkan—serius, sistematis, dan setara.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *