Kidung Rakyat: Nada Nurani Toto Tewel Bukan Atasnamakan Siapa-siapa

“Suara rakyat itu tak selalu lantang. Kadang justru hadir lewat senar gitar, yang bergetar pelan tapi jujur.”— Toto Tewel

Urbannews | Di tengah bising dunia yang semakin gaduh oleh klaim dan slogan, seorang gitaris legendaris kembali menyalakan bara kecil dari ruang sunyi. Toto Tewel, sosok yang tak pernah lelah mengabdikan gitarnya bagi kejujuran musik, kini merilis karya terbarunya: “Kidung Rakyat (Bukan Atas Nama Rakyat).” Sebuah lagu yang tidak berteriak, tapi menembus kesadaran.

“Kidung” — bukan “mars”, bukan “himne” — menunjukkan kelembutan dan ketulusan. Ia lahir bukan untuk memimpin barisan, melainkan untuk menyentuh jiwa yang lelah menyimak kebisingan palsu. Toto Tewel tidak sedang membuat lagu protes; ia sedang berdoa lewat gitar.

“Saya cuma ingin bicara jujur. Banyak yang mengatasnamakan rakyat, padahal tak benar-benar mendengar mereka,” tutur Toto pelan, seperti memetik nada dari pikirannya sendiri. “Saya menulis lagu ini bukan untuk mewakili siapa-siapa. Ini kidung, bukan pidato.” tambahnya, saat peluncuran single tersebut di Komunitas Kandang Ayam, Rawamangun, Jakarta Timur, Sabtu (8/11/2025) malam.

Dihadiri banyak musisi, nada-nada gitarnya tetap khas — tegas tapi berperasaan, menggigit tapi hangat. Distorsi hadir bukan untuk menyerang, melainkan untuk memberi ruang bagi keheningan yang berarti. Dalam setiap gesekan senar, ada luka yang disembuhkan oleh kesadaran, ada kegelisahan yang diterjemahkan menjadi ketenangan.

“Kidung Rakyat” seperti perjalanan spiritual seorang musisi yang telah melampaui usia dan sorot lampu panggung. Toto tidak lagi mencari pengakuan. Ia sedang mencari kebenaran yang sederhana: tentang rakyat yang bekerja, yang diam, yang hidup di antara kata dan janji. Ia bicara bukan atas nama mereka, tapi bersama mereka, lewat keheningan yang dipetik dari dawai gitar.

Ceritanya singkat namun mengandung daya gugah yang panjang. Tidak menggurui, tidak berapi-api — hanya mengundang untuk merenung. Lagu ini seolah menatap langsung ke hati pendengarnya dan berbisik, “Kita semua rakyat. Dan tak seorang pun berhak mengatasnamakan kita tanpa mendengarkan lebih dulu.”

“Saya percaya, musik punya nurani. Dan kalau kita jujur menulisnya, ia akan bicara lebih jujur daripada orasi mana pun,” ucap Toto, sembari tersenyum kecil, menatap senar gitarnya seolah tahu, di sanalah suara rakyat sebenarnya bersembunyi.

Melalui “Kidung Rakyat (Bukan Atas Nama Rakyat)”, Toto Tewel menegaskan kembali peran seniman sejati: bukan hanya mencipta bunyi, tapi menghadirkan kesadaran. Ia tidak ingin mengubah dunia lewat teriakan, tapi lewat gelombang kecil dari nada yang tulus.

Dan ketika kidung itu usai, gema senar Toto masih berputar di udara. Bukan karena kerasnya distorsi, tapi karena keheningan yang ditinggalkannya. Kidung ini tak mengatasnamakan siapa-siapa karena di balik setiap nada, rakyat sejati sedang berbicara dengan bahasa yang tak perlu diterjemahkan. Bahasa nurani. Bahasa kejujuran. Bahasa yang selama ini dicari musik sejati.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *