Urbannews | Ketika Sumatra diguncang bencana, tanah yang retak itu bukan hanya memecah bumi—tetapi memecah keheningan nurani bangsa. Seperti siklus yang terus berulang, kabar duka selalu berlari lebih cepat daripada pijakan negara. Namun pada tragedi itu, ada sesuatu yang bergerak lebih awal, lebih jernih, dan lebih manusiawi: suara musik.
Sebelum sirene negara mengaum, seratus musisi telah lebih dulu menyelinap ke reruntuhan. Tanpa komando, tanpa pangkat, tanpa prosedur berlapis yang menuntut sabar—padahal tak seorang pun yang baru kehilangan rumah, keluarga, atau harapan punya kemewahan untuk bersabar.
Mereka bergerak dengan modal paling sederhana tetapi paling murni: empati.
Gitar dijadikan obor, panggung menjadi posko, dan popularitas mereka menjadi alat untuk mengumpulkan solidaritas. Dalam hitungan jam, mereka menyulap lagu menjadi jalan bagi bantuan, dan nada menjadi tanda bahwa para korban tidak sendirian.
Sementara itu, negara—dengan tubuh besar dan mesin birokratis yang rumit—melangkah dalam ritme yang telah digariskan aturan. Ada laporan yang harus disusun, status yang perlu ditetapkan, koordinasi yang mesti dilalui. Tidak salah, memang begitulah negara bekerja. Tetapi saat pedesaan runtuh dan kota kecil tercekik debu, jeda administratif terasa lebih dingin daripada malam yang menimpa para pengungsi.
Inilah ironi yang selalu hadir namun jarang kita ucapkan lantang: Setiap bencana, sekecil apa pun, sejauh apa pun, seharusnya langsung dianggap sebagai bencana nasional. Karena air mata tidak punya wilayah administratif. Karena luka rakyat tidak pernah berskala lokal.
Bukankah jeritan dari lembah terpencil sama sahnya dengan jeritan dari kota besar? Bukankah kehilangan di pedalaman sama beratnya dengan kehilangan di ibukota?
Namun negara masih terikat pada klasifikasi: apakah kerusakan ini cukup besar? Apakah jumlah korban memenuhi kriteria? Apakah anggarannya memungkinkan? Seolah-olah penderitaan harus menduduki peringkat tertentu sebelum mendapat perhatian penuh. Di saat negara masih mengukur, musisi sudah mengulurkan tangan.
Gerakan 100 Musisi Peduli Sumatra menjadi cermin jernih yang memantulkan dua wajah bangsa ini: wajah masyarakat yang bergerak secepat nurani, dan wajah negara yang bergerak secepat administrasi.
Negara tetap penting—ia punya logistik, tenaga medis, TNI, Basarnas, dan kekuatan besar untuk pemulihan jangka panjang. Tetapi untuk hadir paling dulu, untuk mengatakan “kami ada di sini”, untuk menjadi cahaya pertama yang menembus reruntuhan—di titik itulah musisi, komunitas kreatif, dan warga biasa sering mengungguli negara.
Mungkin di sanalah pelajarannya:
Sebuah bangsa tidak diukur dari seberapa kuat ia menangani bencana besar, tetapi dari seberapa cepat ia menganggap setiap luka rakyat sebagai luka nasional.
Gerakan seratus musisi membuktikan bahwa di negeri ini, empati bisa berlari lebih cepat daripada sirene. Dan mungkin, suatu hari nanti, negara akan belajar berlari bersama mereka—tanpa menunggu status, tanpa menunggu tanda tangan, dan tanpa menunggu retakan itu berubah menjadi reruntuhan.




