Urbannews | Ketika Sumatra diguncang bencana, tanah yang retak itu bukan hanya memecah bumi—tetapi memecah keheningan nurani bangsa. Seperti siklus yang terus berulang, kabar duka selalu berlari lebih cepat daripada pijakan negara. Namun pada tragedi itu, ada sesuatu yang bergerak lebih awal, lebih jernih, dan lebih manusiawi: suara musik.
Sebelum sirene negara mengaum, mereka bergerak dengan modal paling sederhana tetapi paling murni: empati. Gitar jadi obor, panggung menjadi posko, dan popularitas mereka menjadi alat untuk mengumpulkan solidaritas. Dalam hitungan jam, mereka akan menyulap lagu menjadi jalan bagi bantuan, dan nada menjadi tanda bahwa para korban tidak sendirian.
Sementara itu, negara—dengan tubuh besar dan mesin birokratis yang rumit—melangkah dalam ritme yang telah digariskan aturan. Ada laporan yang harus disusun, status yang perlu ditetapkan, koordinasi yang mesti dilalui. Tidak salah, memang begitulah negara bekerja. Tetapi saat pedesaan runtuh dan kota kecil tercekik debu, jeda administratif terasa lebih dingin daripada malam yang menimpa para pengungsi.
Inilah ironi yang selalu hadir namun jarang kita ucapkan lantang: Setiap bencana, sekecil apa pun, sejauh apa pun, seharusnya langsung dianggap sebagai bencana nasional. Karena air mata tidak punya wilayah administratif. Karena luka rakyat tidak pernah berskala lokal.
Komunitas Kurasi Musik Indonesia—ruang berkumpulnya para musisi independen lintas genre—memutuskan untuk tidak tinggal diam. Mereka merajut solidaritas lewat apa yang paling mereka kuasai: suara, nada, dan kehangatan panggung. Dari keresahan itulah lahir sebuah acara penggalangan dana bertajuk “Kurasi Musik untuk Sumatera”, sebuah konser amal yang mengajak publik untuk turut serta meringankan beban para korban.
Panggung Solidaritas di Bowl Coffee Connection
Acara ini akan digelar pada Sabtu, 6 Desember 2025, di Bowl Coffee Connection, Jl. Asem Baris Raya No. 1, Tebet, Jakarta Selatan, mulai pukul 19.00 WIB hingga selesai. Malam itu, panggung kecil di sudut kafe akan berubah menjadi rumah bagi berbagai suara: rock, folk, pop, eksperimental, hingga musik akustik intim.
Deretan musisi yang akan tampil pun beragam: Ada Man Sinner, Albert Tanabe, Yogie Semata, D’Avery, Reza Arfandy, Minggu Pop Rock, Senyawa, Heylo Jeylo, Matheo in Rio, Valen Duga, hingga The Oldest. Mereka datang bukan sekadar membawa lagu, tetapi membawa niat yang sama: menyampaikan harapan.
Mengajak Publik Ikut Mengulurkan Tangan
Seluruh dana yang terkumpul dari acara ini akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar para korban bencana, mulai dari logistik, layanan kesehatan, hingga dukungan pemulihan tempat tinggal. Bagi masyarakat yang tidak dapat hadir langsung, panitia juga menyediakan kanal donasi resmi:
Donasi dapat disalurkan melalui:
Bank: BCA
No. Rekening: 3312089405
Atas Nama: Muhammad Safir
Setiap rupiah yang terkumpul akan mengalir menuju titik-titik pengungsian, menuju wajan-wajan dapur umum, menuju tangan-tangan kecil yang membutuhkan selimut hangat.
Musik Punya Kekuatan Menyatukan Kita
Penggagas Kurasi Musik Indonesia, Ully Dalimunthe, menyampaikan bahwa acara ini lahir dari kegelisahan yang sama dirasakan banyak musisi.
“Musik selalu punya kekuatan untuk menyatukan kita, apalagi saat saudara-saudara kita sedang ditimpa musibah. Melalui acara ini, kami ingin menunjukkan bahwa solidaritas tidak mengenal batas. Sekecil apa pun kontribusi kita, akan sangat berarti bagi mereka yang sedang berjuang bangkit di Sumatera.”
Ully menambahkan bahwa konser ini bukan sekadar panggung hiburan, melainkan ruang bersama di mana empati bertemu aksi nyata.
“Kami berharap malam solidaritas ini bukan hanya menjadi ruang untuk berbagi, tapi juga pengingat bahwa kepedulian adalah bahasa universal. Semoga setiap bantuan yang terkumpul dapat meringankan beban saudara-saudara kita dan memberi mereka harapan baru.”
Harmoni yang Menyentuh Kemanusiaan
Melalui kegiatan ini, Kurasi Musik Indonesia mengajak seluruh masyarakat, komunitas seni, dan pegiat musik untuk ikut menyebarkan informasi, hadir, atau sekadar menitipkan donasi. Bahwa dalam situasi genting seperti ini, dukungan sekecil apa pun dapat menjadi suara yang menguatkan mereka yang sedang berjuang.
Pada akhirnya, musik bukan sekadar pertunjukan. Ia adalah jembatan perasaan, ruang bertemunya kepedihan dan harapan. Dan malam kan datang—melalui nada, petikan gitar, dan tepuk tangan—kita diingatkan kembali bahwa kemanusiaan adalah harmoni paling indah yang bisa diciptakan bersama.



