Ketika Literasi Digital Mengubah Hidup: Dari Warung Biasa ke Dunia Maya

Urbannews | Awal dari Sebuah Klik. Setiap pagi, Siti Rahma (38), pemilik warung kelontong di Desa Ciburial, Bandung, membuka ponselnya bukan hanya untuk melihat pesan WhatsApp, tapi untuk memeriksa pesanan online yang masuk.

Dulu, ia hanya mengandalkan pelanggan sekitar kampung. Kini, lewat platform e-commerce lokal dan media sosial, produknya — keripik singkong pedas — sudah melanglang hingga Jakarta dan Surabaya.

“Awalnya saya tidak tahu cara pakai aplikasi jualan. Saya pikir susah. Tapi setelah ikut pelatihan literasi digital dari LAZADA oleh relawan desa, ternyata gampang,” ujarnya sambil tersenyum.

Cerita Siti bukan sekadar kisah sukses personal. Ia adalah potret transformasi digital akar rumput — bagaimana literasi, kepercayaan, dan inovasi berpadu membentuk ekosistem ekonomi digital Indonesia.

Kepercayaan: Fondasi Dunia Maya

Bagi Siti, kepercayaan menjadi titik awal. Ia sempat ragu: apakah aman menjual barang lewat internet? Bagaimana kalau ditipu? Pertanyaan-pertanyaan itu jamak muncul di masyarakat yang baru mengenal dunia digital.

Menurut data Kominfo, lebih dari 60% masyarakat Indonesia masih khawatir terhadap keamanan transaksi online.
Karena itu, membangun kepercayaan digital bukan hanya soal teknologi, tapi soal pendidikan dan pengalaman.

Program Gerakan Nasional Literasi Digital dan inisiatif komunitas seperti Siberkreasi telah menjangkau jutaan peserta. Mereka mengajarkan bukan hanya cara berjualan online, tapi juga cara melindungi data pribadi, mengenali penipuan, dan membangun reputasi digital yang baik.

“Kepercayaan digital lahir dari edukasi dan konsistensi,” kata Dr. Irwan Mulyadi, dosen komunikasi digital di Universitas Padjadjaran. “Tanpa kepercayaan, ekonomi digital hanya akan jadi ruang transaksional tanpa nilai sosial.”

Inovasi yang Menyentuh Kehidupan

Ekonomi digital Indonesia kini menjadi salah satu yang paling dinamis di Asia Tenggara. Laporan Google-Temasek-Bain (2024) memproyeksikan nilai ekonomi digital Indonesia menembus US$ 360 miliar pada 2030.

Namun, angka besar itu baru bermakna jika inovasi benar-benar menyentuh kehidupan masyarakat. Dari startup agritech yang membantu petani menjual hasil panen tanpa tengkulak, hingga fintech yang memberi akses modal bagi pelaku UMKM seperti Siti — inovasi telah mengubah wajah ekonomi rakyat.

Inovasi tidak lahir di ruang seminar, tapi di lapangan — ketika teknologi bertemu kebutuhan nyata masyarakat. Dan di sanalah, ekonomi digital menjadi alat pemberdayaan, bukan sekadar industri.

Pemberdayaan: Digital untuk Semua

Transformasi digital tidak boleh meninggalkan siapa pun. Pemberdayaan berarti memberi akses, kemampuan, dan kepercayaan diri bagi seluruh lapisan masyarakat — dari siswa, petani, guru, hingga pelaku UMKM di desa.

Pelatihan literasi digital kini hadir di berbagai daerah. Di Nusa Tenggara Timur, komunitas Digital Desa mengajarkan warga membuat katalog produk online. Di Sumatera Barat, koperasi perempuan belajar memanfaatkan media sosial untuk promosi usaha rumahan.

“Dulu saya takut salah klik. Sekarang saya malah jadi admin online shop,” kata Yuliana, peserta pelatihan digital di Kupang, tertawa bangga.

Pemberdayaan digital sejati terjadi ketika masyarakat bukan hanya menjadi pengguna teknologi, tapi pencipta nilai baru di dunia digital.

Sinergi Menuju Masa Depan Digital Indonesia

Membangun ekosistem ekonomi digital yang sehat tidak bisa dilakukan sendiri.
Dibutuhkan sinergi antara pemerintah, dunia usaha, akademisi, dan masyarakat.

• Pemerintah menyediakan infrastruktur dan regulasi yang mendukung.
• Sektor swasta dan startup menghadirkan inovasi dan solusi teknologi.
• Akademisi dan komunitas mengedukasi dan meneliti dampak sosial digitalisasi.
• Masyarakat menjadi motor utama yang menghidupkan ekosistem ini dengan partisipasi aktif.

Sinergi inilah yang menjadi jantung ekonomi digital Indonesia — ekonomi yang tidak hanya tumbuh, tapi juga menumbuhkan.

Dari Warung ke Dunia Maya

Perjalanan Siti Rahma adalah cermin dari perjalanan besar Indonesia menuju transformasi digital. Dari warung sederhana hingga toko online, dari ragu menjadi percaya — semua berawal dari satu hal: kesempatan untuk belajar.

Ekonomi digital bukan sekadar tentang teknologi, tetapi tentang manusia. Tentang bagaimana klik pertama bisa membuka jalan menuju kemandirian, inovasi, dan pemberdayaan.

Dan di setiap klik itu, Indonesia sedang menulis masa depannya sendiri — masa depan yang digital, inklusif, dan berdaya./Edo Maitreya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed