Kekuatan Para Wisatawan Muda dan Efek Swift-nomics di Music Tourism

Music2759 Dilihat

Urbannews | Generasi milenial memang jadi bahan rebutan di banyak sektor, termasuk pariwisata. Ini bukan tanpa alasan, tentunya. Mengingat jumlah generasi ini amat besar. Dalam studi yang dilakukan oleh Bloomberg jumlah generasi milenial mencapai 31,5 persen dari total populasi dunia, atau sekitar 2,43 miliar jiwa.

Di dunia pariwisata, generasi milenial ini juga punya karakteristik wisata yang berbeda dengan generasi pendahulunya. Bagi para pejalan muda ini, pengalaman adalal hal yang lebih penting ketimbang, misalkan, barang (Sofronov, 2018).

Mereka juga tech savy, lekat dengan teknologi yang membuat perjalanan jadi lebih mudah dan nyaman. Karena perubahan karakter wisata yang amat kontras ini, wajar kalau dunia pariwisata sempat pontang-panting beradaptasi dan tak jarang melahirkan friksi –semisal ribut-ribut antara hotel melawan Airbnb, atau agen perjalanan melawan situs penyedia tiket pesawat dan kereta api.

Selain jumlahnya yang besar, ini yang tak kalah penting: wisatawan milenial adalah kelompok yang rela mengeluarkan dana paling besar dibanding kelompok umur lain. Dalam survei yang dilakukan Travelport di Amerika Serikat, disebutkan bahwa kelompok milenial berusia 18-34 tahun rela mengeluarkan bujet hingga 5.000 dolar untuk liburan.

Karena karakter wisatawan milenial yang lebih mengutamakan pengalaman itu, wajar kalau pilihan wisata mereka lebih niche, alias masuk dalam ceruk yang lebih sempit. Yang mereka kejar adalah pengalaman, bukan mass tourism. Mereka lebih senang mencari tujuan yang tidak terlalu populer, namun memberikan banyak pengalaman alih-alih foto di tetenger wisata masyhur. Dunia pariwisata juga kerap melabeli wisata ini sebagai wisata minat khusus.

Dulu, wisata minat khusus kerap di asosiasikan dengan wisata seperti eco tourism atau yang berkaitan dengan pencarian sesuatu yang eksotis (Brennan, 1995). Namun sejak dua dekade terakhir, wisata minat khusus ini melebar menjadi: wisata yang punya satu tema khusus. Misalkan sport tourism, movie tourism, dan tentu saja music tourism alias pariwisata musik.

Festival musik adalah bagian penting dari pariwisata musik atau sebagai atraksi wisata. John Connell dan Chris Gibson di buku pentingnya, Music and Tourism: On the Road Again (2005), menyebut bahwa musik kini menjadi salah satu alasan orang untuk melancong. Di negara yang industri pariwisata musiknya maju, semisal Inggris dan Amerika Serikat, festival musik jadi anggota garda depan untuk semarakkan pariwisata dan mengundang wisatawan.

Di Inggris, ada festival musik Glastonbury yang tiap tahunnya mendatangkan 200 ribu hingga 300 ribu wisatawan ke desa kecil bernama Pilton, yang bahkan populasinya tidak sampai 1.000 orang. Di Amerika Serikat, ada Lollapalooza yang rutin ditonton sekitar 300 ribu hingga 400 ribu orang. Ada juga Coachella, festival tahunan yang pada 2017 mendatangkan sekitar 250 ribu penonton ke Gurun Colorado dan berhasil meraih pendapatan kotor sekitar 114 juta dollar.

“Festival musik selalu lekat dengan citra anak muda, karenanya menyasar anak muda sebagai penonton adalah hal yang tepat. Untuk itu, tidak mengherankan kalau pariwisata musik menjadi salah satu yang membentuk pertumbuhan ekonomi baru. Tapi utamanya, sejauh mana dampak sebuah festival terhadap perekonomian masyarakat sekitar,” ujar Bakkar Wibowo, founder Balkonjazz Festival sekaligus promotor dari Sinergi Live.

Fenomena Swift-nomics ala Singapore 

Rasa-rasanya pernyataan Bakkar Wibowo dan rentetan tulisan diatas, sama serta sebangun bahwa dunia musik jika dikelola dengan baik bisa mendatangkan cuan yang berlimpah.

Bagaimana tidak. Buktinya, jagad hiburan di dunia, wabil khusus di Asia, dibuat geger oleh Singapore yang menggelar konser ‘exclusive’ Taylor Swift dengan 6 kali show. Singapore yang berani membayar Swift USD 2,8juta/show_Rp 45M. Dan, 6x show Rp 270M, tentunya ada klausul kontrak Taylor Swift hanya akan konser di Singapore saja, dan tidak di Negara lain, dalam hal ini Asia

Walau Singapore melakukan cara-cara yang konon katanya tidak etis dan cenderung melanggar aturan GATS WTO khususnya yang berkaitan dengan pariwisata. Dan, budget konser yang sangat aduhai tersebut diatas ini, tentunya tidak terlepas dari campur tangan pihak pemerintah Singapore sendiri, baik dari sisi pembiayaan maupun kebijakan, hanya pelaksanaan diserahkan kepada professional (promotor/eo).

Singapore memiliki visi ekonomi yang panjang. Mereka menyadari kekuatan mereka ada di bidang jasa. Apalagi setelah tahun lalu sektor manufaktur tumbuh negatif lebih dari 4 persen dan nilai  ekspornya turun lebih dari 20 persen.  Hanya sektor jasa yang tumbuh positif, mulai dari komunikasi, transportasi, perdagangan, perhotelan, hingga restoan; itulah yang membuat ekonomi Singapura masih bisa tumbuh positif tahun lalu.

Singapore yang sudah memiliki ekosistem yang terbangun. Connectivity, Infrastructure dan Securitynya terkoneksi dengan baik. Misal; begitu penonton konser turun dari bandara, dimana menginap, makan dan atau menuju tempat konser. Begitupun, sebaliknya setelah konser yang biasanya kudu isi perut, tempat makan tersedia hingga malam, transportasi 24 jam, dan ini yang penting “aman”.

Pemerintah Singapore yang berorientasi pasar dan memahami pasar ini,  tak hanya berpikir ekonomi jangka pendek, dimana memberi dampak langsung yang bisa dirasakan adalah pajak barang dan jasa Goods and services tux/GS’l) dari berbagai transaksi yang kemudian terjadi. Tetapi yang jauh lebih diperhatikan pemerintah adalah dampak ekonomi yang didapatkan untuk jangka panjang.

Dengan konser yang dikunjungi jutaan fans mancanegara, pastinya ekonomi Singapore akan bertumbuh. Dampak jangka panjang, tentunya live report tentang nonton konser di Singapore di media sosial atau blog dsb, menjadi promo gratis sekaligus tiket untuk terus berkunjung lagi, nonton konser lagi dan lagi.

Berita-berita terkini ekonomi dan bisnis hingga Senin sore, 11 Maret 2024 lalu, yang dilansir Tempo.co, dimulai dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia atau LPEM FEB UI meneliti dampak ekonomi dari konser Taylor Swift dan Coldplay di Singapura. Hasilnya, perhelatan konser dua bintang dunia tersebut menembus Rp 11 triliun.

Bagaimana dengan negara kita tercinta, Indonesia. Ya, pastinya harus bisa. Tapi, bukan ikutan gaya Singapore yang gelar konser Taylor Swift 6x show, exclusive pula. Seperti niatan salah satu pejabat. Tapi, bagaimana caranya Pemerintah hadir dan ada juga ikut supporting memperbaiki ekosistem industri musik, infrastruktur biz pertunjukan.

Bisa juga mendukung penuh festival musik yang sudah ada di Indonesia, mulai dari perizinan yang mudah, pajak yang ringan, atau dari sisi pendanaan. Atau, mendukung para musisi yang ingin bertandang keluar negeri karena undangan, atau kompetisi. Ada beberapa musisi independent, harus berjuang sendiri mencari dana untuk pergi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

719 komentar