Kala Gema dari Gigs Kecil yang Menolak Padam Semalam

Urbannews | “Kadang musik terbaik lahir bukan dari panggung besar, tapi dari ruang kecil yang penuh ketulusan,” ujar seorang musisi tak lagi muda sambil menyeka keringat setelah turun dari panggung. Kalimat sederhana itu menggema di antara kepulan asap dan riuh kecil tawa penonton di Kala di Kalijaga, Jakarta Selatan, Selasa (11/11)  — tempat di mana musik malam itu kembali menemukan maknanya yang paling jujur.

Di luar, jalan Kalijaga tetap bersahaja, tapi di dalam, dentum bass dan arpeggio gitar menjelma jadi nadi yang menyalakan kehidupan. Venue itu tak luas, lampunya tak banyak, namun cukup untuk membentuk suasana intim — antara musisi dan pendengar yang hanya dipisahkan jarak satu langkah. Dalam acara bertajuk “All You Can Hear Gigs – Road to Volume 2”, buah kerja sama dengan SWAG Event, si pemilik tempat, tak ada panggung tinggi, tak ada tata cahaya megah. Yang ada hanyalah semangat yang murni, musik yang bernafas tanpa pretensi.

“All You Can Hear Gigs” bukan sekadar tajuk. Ia semacam manifesto kebebasan, pernyataan bahwa semua suara berhak hidup, semua nada berhak didengar. Malam itu, tak ada yang berbicara tentang algoritma atau tren industri. Tak ada obrolan soal target penonton atau strategi streaming. Yang ada hanya keyakinan kecil bahwa musik masih bisa menjadi pelarian paling manusiawi di tengah riuhnya dunia digital.

“Yang kami cari bukan panggung besar, tapi pendengar yang mau memahami lagu kami,” kata Gugun dari Gugun Blues Shelter, salah satu personel band pembuka dengan nada tenang. Kalimatnya terasa menembus ruang—seolah menampar kenyataan bahwa industri musik kini sering terjebak pada pencitraan, bukan penciptaan.

Penonton pun menyambut dengan hangat. Mereka datang bukan untuk menilai, tapi untuk ikut larut. “Rasanya beda, kayak balik ke masa di mana musik cuma butuh ruang dan niat,” ujar Dade, salah satu teman yang duduk santai sambil ikut bernyanyi pelan. Di matanya, gigs kecil ini seperti oasis di tengah padang industri yang kian gersang oleh hitungan klik dan views.

Cahaya di Kala malam itu tidak menyilaukan, tapi jujur. Setelah Gugun Blues Shelter, ada Frangky Indrasmoro, Sandy Canester, Dadali, Broder Bong, Fearless, dan Band Om Om, tampil silih berganti, memainkan lagu-lagu tentang romantisme, tentang Jakarta yang menua tanpa arah, dan tentang harapan kecil yang tak mau mati. Di sela jeda, terdengar obrolan hangat, tawa ringan, dan tepuk tangan tulus yang tak pernah kehilangan makna.

Di tengah suasana itu, Rian “Ncek” Kampua, penggagas SWAG Event, berbagi pandangannya tentang pentingnya ruang kecil seperti ini:

“Kita nggak mau cuma bikin acara musik. Kita mau bikin ekosistem — tempat di mana musisi bisa tumbuh, penonton bisa dekat, dan semuanya terasa real. Kadang justru di gigs kayak gini, semangatnya lebih hidup daripada festival besar,” ujar Ncek dengan senyum puas, sesekali menepuk bahu kru yang sedang beres-beres di pojokan.

Sementara di luar sana industri musik terus berputar dengan skema yang rumit, Kala menghadirkan sesuatu yang lebih penting: kejujuran. Di sinilah musik kembali menjadi alat komunikasi yang paling purba — antara hati yang mencipta dan telinga yang mau mendengar.

“Kalau semua orang berlomba viral, kami cukup berlomba jujur,” ujar Ferdy Tahier, si penggagas acara, sebelum menutup set bersama band Om Om-nya. Kalimat itu menancap seperti paku kecil di kepala banyak orang malam itu. Bahwa kejujuran masih bisa menjadi kekuatan estetika, bahkan di era yang serba dikalkulasi.

Tanpa harus masuk ke radar konferensi musik mana pun, gigs seperti ini justru memperlihatkan sisi paling tulus dari ekosistem musik Indonesia: ruang-ruang kecil yang dikelola dengan cinta, yang tak peduli pada hierarki, tapi peduli pada getaran. Di sinilah generasi baru musik independen lahir, bertumbuh tanpa bising, tapi meninggalkan jejak.

Kala di Kalijaga malam itu seolah menjadi laboratorium kejujuran — tempat di mana nada kembali menjadi bahasa yang menyatukan, bukan memisahkan. Setiap denting gitar, setiap tepukan drum, adalah bentuk perlawanan halus terhadap absurditas industri yang sering kehilangan nurani.

Menjelang tengah malam, satu per satu alat musik mulai dibungkus. Lampu meredup. Namun gema dari Kala tak ikut padam. Ia menggantung di udara Jakarta yang lembab — seperti mantra kecil yang berbisik: musik tak butuh izin untuk bersinar; ia hanya perlu hati yang mau memainkan dan telinga yang mau mendengar.

Dan mungkin, justru dari gigs kecil seperti ini, masa depan musik Indonesia sedang diam-diam disusun ulang — lebih jujur, lebih manusiawi, dan lebih merdeka dari sekadar panggung dan sorotan kamera. Karena di antara kilau yang memudar, cahaya kecil dari Kala masih cukup terang untuk menuntun arah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *