Urbannews | Selama dua dekade, Java Jazz Festival telah menjadi detak nadi Jakarta setiap awal tahun — sebuah perayaan musik yang menyalakan energi kota dengan harmoni, improvisasi, dan aroma nostalgia. Namun tahun depan, di usia ke-21, festival itu memilih menapak di panggung baru: Nusantara International Convention and Exhibition Center (NICE), di kawasan PIK 2.
Perpindahan ini bukan sekadar soal ganti alamat. Ia adalah pernyataan ambisi, mungkin juga sedikit taruhan.
Kemegahan Baru di Ujung Pantai
Di atas kertas, keputusan ini terlihat cemerlang. PIK 2 kini tengah menjelma menjadi simbol modernitas urban: gedung menjulang, jalan mulus, udara laut yang masih menyisakan napas segar. NICE sendiri berdiri megah — konvensi center yang digadang-gadang setara dengan fasilitas internasional di Singapura atau Dubai.
Bagi penyelenggara, langkah ini adalah upaya memantapkan Java Jazz sebagai festival kelas dunia. Infrastruktur modern, ruang yang lebih lapang, sistem tata suara yang lebih mumpuni — semua menunjuk pada satu hal: standard global experience.
Namun, di balik gemerlap itu, ada gema pertanyaan yang tak bisa diabaikan: siapa yang benar-benar akan sampai ke sana?
Dari Kemayoran ke PIK: Sebuah Perjalanan Fisik dan Emosional
Kemayoran dulu seperti rumah. Aksesnya mudah, ongkosnya terjangkau, dan bagi banyak penonton “nanggung” — mereka yang datang bukan karena line-up besar, tapi karena atmosfernya — lokasi itu adalah bagian dari pengalaman. Kini, jarak bukan lagi sekadar kilometer; ia berubah menjadi semacam jarak batin.
PIK 2, dengan segala kemewahannya, terasa agak eksklusif. Jalan menuju ke sana menuntut lebih banyak waktu, lebih banyak ongkos, bahkan lebih banyak niat. Dalam bahasa lain, Java Jazz kini menuntut komitmen.
Bagi sebagian orang, ini bisa jadi tanda kematangan — festival yang naik kelas, menegaskan identitasnya sebagai ajang internasional. Tapi bagi yang lain, ini bisa jadi tanda menjauh: musik yang dulu “ramai karena semua bisa datang”, kini bisa terasa “sunyi karena hanya sebagian bisa sampai”.
Upaya Menjembatani Jarak
Patut diapresiasi keberanian penyelenggara memindahkan venue, semoga berani pula tidak menutup telinga, yakni; menghadirkan shuttle bus dari stasiun MRT, halte TransJakarta, hingga integrasi dengan KRL dan LRT menunjukkan kesadaran sosial. Jika terealisasi dengan baik, inilah potret baru ekosistem festival masa depan — di mana kemegahan venue tidak memutus tali dengan publik.
Mungkin, ini justru momentum bagi Jakarta belajar: bagaimana menciptakan transportasi festival-friendly, di mana konser besar tidak hanya milik mereka yang punya kendaraan pribadi.
Langkah Besar, Tantangan Nyata
Java Jazz di NICE PIK 2 adalah simbol dua sisi: modernisasi dan ujian inklusivitas. Ia bisa menjadi panggung megah yang mengangkat wajah industri musik Indonesia ke level global. Tapi juga bisa menjadi cermin — apakah kita sedang menciptakan festival yang makin berkelas, atau justru makin berjarak?
Karena sejatinya, jiwa festival bukan hanya di panggung dan tata cahaya, melainkan di perjalanan menuju ke sana — di tawa penonton di halte bus, di langkah kaki yang tergesa, di obrolan acak di antrian makanan, di rasa lelah yang terbayar oleh satu lagu penutup yang membekas.
Jika Java Jazz Festival mampu menjaga semua itu tetap hidup, maka langkah ini bukan sekadar relokasi. Ia adalah lompatan kultural — dari Jakarta yang padat menuju Indonesia yang lebih terhubung, lebih modern, dan tetap hangat di tengah dentuman jazz.|Edo Maitreya
