Jakarta Rocktober, Akankah Jadi Agenda Tahunan PWI Jaya yang Menyatukan Musik dan Jurnalisme

Urbannews | Di bawah langit Jakarta yang tak pernah benar-benar gelap, dentum gitar, gebuk drum, dan pekik vokal membelah malam, Kamis (23/10). “Jakarta Rocktober”, sebuah tajuk event musik yang dicanangkan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya, bukan sekadar konser musik. Ia adalah pernyataan sikap—bahwa jurnalis tak hanya menulis berita, tapi juga menjaga denyut budaya.

Dari panggung ke panggung, dari tahun ke tahun, Rocktober menegaskan dirinya bukan pesta sesaat. Ia tumbuh menjadi ritual tahunan, tempat jurnalis, musisi, dan penikmat musik bertemu dalam satu frekuensi yang sama: kebebasan berekspresi. Di tengah gegap gempita industri musik yang kian dikontrol algoritma, “Jakarta Rocktober” seperti oase bagi mereka yang rindu pada energi panggung yang jujur, liar, dan apa adanya.

Bukan hal baru jika wartawan bersentuhan dengan musik. Mereka hidup dari cerita—dan musik selalu punya cerita untuk diceritakan. Maka, ketika PWI Jaya menjadikan konser ini sebagai agenda tetap, yang lahir bukan hanya event, tapi ekosistem apresiasi. Sebuah jembatan antara kata dan nada, antara berita dan bunyi, antara idealisme dan hiburan.

Setiap tahun, wajah dan nama mungkin berganti. Namun, semangatnya tak pernah luntur: merayakan kebersamaan dalam nada keras, tanpa kehilangan makna. Para musisi datang bukan semata untuk tampil, tapi untuk menyapa sejarah—sejarah yang ditulis oleh jurnalis musik, dikutip oleh pembaca, dan dihidupkan lagi lewat panggung.

“Jakarta Rocktober” adalah bentuk cinta yang tak ingin padam. Ia mengajarkan bahwa rock bukan hanya genre, tapi cara berpikir, cara melawan stagnasi. Dan di tangan wartawan, ia menjadi narasi: tentang semangat, keberanian, dan konsistensi.

Ketika sorotan lampu panggung mulai redup dan kerumunan mulai pulang, gema itu tetap tinggal. Ia tak berhenti di satu malam Oktober. Ia menjelma jadi janji tahunan, bahwa tahun depan kita akan kembali—menyanyikan lagu yang sama, dengan semangat yang mungkin berbeda, tapi dengan cinta yang tetap sama: cinta pada musik, pada kata, pada hidup yang terus berdenyut di kota bernama Jakarta.

Semoga setiap tahun, Jakarta Rocktober menjadi lebih dari sekadar konser — ia adalah catatan kaki yang hidup dalam sejarah kecil kota ini. Di sanalah wartawan belajar menjadi penutur lagi, bukan hanya pencatat. Di sanalah seniman menemukan bahwa kebebasan bisa lahir dari kebersamaan, bukan dari kesendirian. Di sanalah, mungkin tanpa disadari, jurnalisme dan musik bertemu dalam satu frekuensi: keduanya sama-sama mencari kebenaran dengan cara yang paling manusiawi — melalui bunyi, melalui kata, melalui keberanian untuk tidak diam.

Dan mungkin di situlah makna sesungguhnya dari “Distorsi & Drop”: bahwa dalam setiap riuh, selalu ada ruang untuk jujur. Dalam setiap hentakan, ada jeda untuk merenung. Konsistensi tidak selalu berarti keras kepala; kadang ia justru bentuk paling lembut dari dedikasi — seperti gema gitar yang perlahan memudar, tapi tak pernah benar-benar hilang dari telinga kota.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *