Urbannews | Pada akhirnya, musik tak lagi hanya tentang denting, melodi, atau lirik yang indah. Ia adalah denyut kehidupan — yang berpindah dari jari ke layar, dari layar ke hati, dari hati ke semesta maya yang tak berbatas.
Gen-Z dan Gen-A mungkin tumbuh di antara gelombang digital, tapi jiwa mereka tetap mencari getar yang manusiawi. Mereka mencintai musik seperti mencintai diri sendiri: apa adanya, berubah-ubah, namun selalu tulus. Mereka tak takut melodi yang ganjil, tak canggung pada suara yang belum sempurna. Sebab bagi mereka, ketidaksempurnaan justru menjadi nada paling jujur dari kehidupan.
Di tangan generasi ini, musik menemukan napas baru. Ia tak lagi berdiri di atas panggung tinggi, tapi berbaur di jalanan algoritma, di sudut kamar, di kolom komentar tempat tawa dan luka saling bersahutan. Mereka merayakan musik bukan sebagai produk, tapi sebagai perasaan yang terus bergerak — bebas, cair, dan tak bisa dibatasi.
Mungkin, di masa depan, konser terbesar bukan lagi di stadion atau gedung megah. Ia terjadi di ruang digital, di mana jutaan hati mendengar bersama, meski tak saling mengenal. Sebuah orkestra tanpa konduktor, di mana setiap jiwa memainkan nadanya sendiri — dan semuanya tetap selaras.
Begitulah cara Gen-Z dan Gen-A merawat irama: dengan keberanian untuk menjadi diri sendiri, dengan kejujuran yang tak takut rapuh, dan dengan cinta yang selalu menemukan cara untuk terdengar.
Karena musik, sejatinya, bukan hanya tentang siapa yang menciptakan lagu — melainkan siapa yang bersedia mendengarnya dengan hati terbuka.
