Indonesia Music Summit 2025: Menata Ulang Fondasi Industri Musik Tanah Air

Urbannews | Di tengah derasnya transformasi industri musik global, Indonesia Music Summit (IMUST) 2025 hadir sebagai ruang paling strategis untuk mengukur kesehatan industri musik nasional. Digelar selama dua hari, 19–20 November 2025, di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta Pusat, forum ini bukan sekadar ajang temu muka para pelaku musik, tetapi arena untuk merumuskan ulang arah masa depan ekosistem musik Indonesia.

Musik Indonesia di Persimpangan: Diskusi yang Menentukan Arah

Ruang diskusi di Gedung Teater Wahyu Sihombing menjadi nadi IMUST 2025. Di sinilah suara-suara dari berbagai sektor industri—mulai dari musisi, promotor, pemerintah, anggota dewan, hingga penggerak komunitas—bertukar gagasan tentang tantangan serta peluang yang ada di depan mata.

Deretan nama yang hadir menunjukkan bobot forum ini: Ariel NOAH, Piyu, Giring Ganesha, Once Mekel, Adi Adrian, Endah Widiastuti, Harry Koko Santoso, David Karto, Ravel Junardy, Anas Syahrul Alimi, Wendi Putranto, Ricky Bya, hingga Ferry Dermawan. Diskusi-diskusi yang dipandu Ronal Surapradja, Widya Saputra, Yosi Mokalu, dan Prita Laura mengalir padat—ringan secara penyampaian, namun tajam pada substansi.

Para pelaku sepakat: ekosistem musik Indonesia sedang kuat-kuatnya, tetapi belum sehat sepenuhnya. Pertumbuhan penonton konser memang meningkat pesat, namun regulasi, infrastruktur, dan tata kelola industri masih tertinggal dari potensi yang tersedia.

Empat Isu Strategis yang Mendesak Diselesaikan

1. Potensi Industri Pertunjukan Musik Indonesia

Konser dan festival berkembang pesat, tetapi Indonesia belum sepenuhnya menjadi magnet regional. Para penggerak industri mendorong strategi bersama untuk membuat Indonesia lebih kompetitif di Asia—mulai dari penguatan promotor lokal, kolaborasi regional, hingga standardisasi produksi.

2. Perizinan & Pajak Pertunjukan Musik

Inilah keluhan paling lantang: regulasi berlapis, proses panjang, dan biaya tinggi. Para pembicara menilai, jika birokrasi tidak disederhanakan, industri akan terus berjalan pincang. Banyak penyelenggara kecil tumbang sebelum pentas dimulai.

3. Minimnya Venue yang Layak & Terjangkau

Indonesia memiliki penonton raksasa, tetapi panggungnya terbatas. Dari kota besar hingga kota sedang, kebutuhan venue konser berstandar internasional masih jauh dari cukup. Akibatnya, harga produksi membengkak, dan kesempatan tumbuh bagi artis serta promotor baru menjadi sempit.

4. Tata Kelola Lisensi yang Adil & Transparan

Sistem lisensi yang rapi bukan hanya soal royalti musisi, tetapi kepastian bagi penyelenggara. Pelaku industri menilai waktu sudah mendesak untuk menyatukan ekosistem lisensi yang terfragmentasi, agar perlindungan karya berjalan berdampingan dengan kemudahan berproduksi.

Keempat isu ini bukan sekadar daftar masalah, melainkan agenda besar untuk memastikan industri musik bergerak dengan ritme yang tepat.

Exhibition: Menelusuri Jejak Panjang Industri Musik Indonesia

Selain diskusi, IMUST 2025 juga menghadirkan exhibition di Gedung Ali Sadikin yang memotret transformasi musik Indonesia dari masa ke masa. Ruang pamer itu seolah menjadi mesin waktu bagi pengunjung, mempertemukan era analog dan digital dalam satu narasi perkembangan budaya.

Kurator pameran menghadirkan nama-nama penting:

• Lokananta dengan arsip label rekaman tertua Indonesia,
• Musicapture oleh Firdaus Fadlil,
• Musigraphic Dawai karya Dewa Budjana,
• Jay Subyakto dengan dokumentasi video musik Indonesia,
• Oleg Sanchabakhtiar dengan gagasan menghidupkan kembali Indonesia Music Video Awards,
• Denny MR melalui koleksi buku, vinyl, kaset, dan CD,
• serta partisipasi Koalisi Seni dan SAE.

Pameran ini menjadi pengingat bahwa sejarah musik Indonesia kaya dan berlapis, namun tetap membutuhkan ekosistem arsip yang lebih modern dan berkelanjutan.

Menuju Ekosistem Musik yang Lebih Sehat

IMUST 2025 menegaskan bahwa masa depan industri musik Indonesia tidak bisa digantungkan pada satu sektor saja. Musisi membutuhkan manajemen yang profesional. Promotor membutuhkan regulasi yang bersahabat. Penonton membutuhkan akses yang aman dan nyaman. Sementara pemerintah memerlukan data dan gagasan untuk membentuk kebijakan yang tepat sasaran.

Dengan mempertemukan seluruh pemangku kepentingan, IMUST 2025 bukan hanya peristiwa, tetapi awal dari kerja panjang untuk menata ulang industri musik Tanah Air—lebih inklusif, kompetitif, dan berkelanjutan.

Industri musik Indonesia sudah besar. Yang kini dibutuhkan adalah memastikan ia tumbuh dengan benar.

Mengawal Momentum, Menjemput Masa Depan

IMUST 2025 telah menyalakan percikan penting: kesadaran kolektif bahwa musik Indonesia siap melangkah lebih jauh jika seluruh pelakunya bergerak serempak. Tantangan yang terungkap dalam forum ini bukan alasan untuk pesimis, melainkan peta jalan untuk bekerja lebih terarah.

Kini, tugas berikutnya adalah memastikan percakapan ini tidak berhenti di ruang diskusi. Pemerintah, pelaku industri, dan komunitas perlu menjaga nyala komitmen ini agar perubahan benar-benar terjadi. Jika langkah ini terus dikawal, Indonesia bukan hanya pasar besar musik internasional—tetapi juga rumah bagi industri musik yang disegani dunia.

Musik Indonesia telah berbicara. Saatnya kita mendengarkan, bekerja bersama, dan menuliskan bab berikutnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *