Hela Rotane; Persenyawaan Musik dan Desain Produk Kontemporer

Art & Culture887 Dilihat

20190303_114309-800x543-600x407

“Hela hela rotane rotane//Tifa jawa, jawae babunyi//Rotan, rotan sudah putus//Sudah putus ujung dua//Dua baku dapae”.

Urbannews Musik | Bicara soal lagu daerah di Indonesia dengan ciri khasnya masing masing, dari Sabang sampai Merauke, jika kita coba hitung jumlahnya mungkin ratusan atau bahkan bisa ribuan. Belum lagi bicara tentang makna lirik lagunya yang tersirat pesan moral, mulai dari arti perjuangan, rasa syukur, persahabatan serta persaudaraan, hingga cinta kasih, masih relevan dan cocok didengar semua kalangan hingga kini.

Seperti sebuah lagu daerah yang berasal dari Maluku, berjudul ‘Hela Rotane’. Lagu ini bercerita tentang permainan tradisional ‘tarik tambang’, Hela (tarik) dan Rotane (rotan) yang dianyam, jadi bedanya hanya medium yang digunakan sebagai alat lomba adu kekuatan tersebut. Dalam lagu ini, tifa jawa yang menjadi alat musik pengiringnya.

Esensi permainan Hela Rotane, mengajarkan sebuah sikap sportif (fair play) dalam berkompetisi. Meski mereka saling bersaing satu sama lain untuk adu kuat dan salinh mengalahkan, namun masing-masing kelompok tetap harus bermain dengan sportif, mengutamakan kebersamaan. Apalagi, dari masing-masing kelompok mendapat satu ujung rotan.

Lagu Hela Rotene inilah, menjadi inspirasi sekaligus momentum bagi Glenn Fredly, Abie Abdillah, Handoko Hendroyono, bersama Keriskwan serta Intan&Arya (Dua Sejoli), melahirkan sebuah karya seni instalasi yang merujuk pada konteks kesadaran akan makna sebuah benda atau bahan yang dapat bersenyawa secara natural dalam elemen-elemen ruang dan waktu, serta bebunyian.

Glenn dkk. bekerjasama dengan MildSpot melalui Art & Sound, Hela Rotane mewujudkannya menjadi karya seni instalasi dan desain produk kreatif, dengan mengkontruksi bahan rotan yang hanya dikenal peruntukannya sebatas kursi, meja, lemari, atau perkakas asesoris, menjadikan perupaan bangunan tiga dimensional berbalut musik yang kental di dalamnya.

Berukuran 10 x 20 meter persegi, konstruksinya sengaja di buat terbuka dan transparan, dimana jarak antar rotan tidak rapat, untuk mendapatkan nilai artistik serta alami. “Hela Rotan sebuah terobosan kolaborasi bentuk, antara musik dengan desain produk, yang memiliki impact secara sosio kultural. Hela Rotan secara kreatif untuk memberi semangat ruang pemberdayaan,” pungkas Glenn.

Hal sama, diungkapkan Handoko Hendroyono partner inti di Hela Rotane, di jaman kebangkitan maker saat ini, kita membutuhkan sebuah relevansi sosial yang kuat tentang kesadaran membangun narasi yang melekat. Hela Rotan menjadi momentum kuat untuk menciptakan makna dan pesan.

Abie Abdillah rekan Hela Rotane lainnya, menyatakan sangat prihatin tatkala para designer rotan tumbang satu per-satu, karena tidak ada upaya satu penggerak yang kuat, baik dari kesadaran masyarakatnya atau pemilik otoritas yang harusnya bergerak memberdayakan. “Sayang, jika rotan yang memiliki sisi baik, di sini menjadi sia-sia,” tegas Abie.

Hela Rotane kini menjadi karya seni instalasi satu-satunya yang parkir di venue gelaran musik tahunan ‘Java Jazz Festival (JJF) 2019’, selama tiga hari mulai dari hari Jumat (1/3) hingga Minggu (3/2), di JIExpo Kemayoran, Jakarta. Kehadirannya bukan sekedar pelengkap, tapi menjadi sebuah ikon karya seni baru penambah gemerlapnya seni pertunjukan.

Hela Rotane bukan pula sekedar rangkaian rotan yang bertemali satu dengan lainnya. Tapi, Hela Rotane menyuarakan harapan, memutar nada pemberdayaan sebagai wasilah alam semesta. “Saya tergerak untuk merefresh atau merejuvenate rotan menjadi sebuah statement yang lebih kontemporer, dan ini sekaligus menjawab issue Local is The Global dalam konteks anak muda generasi mellenial,” jelas Keriskwan, dari Hela Rotane.

Hela Rotane semakin menemukan bentuknya. Iramanya serta semangatnya semakin terasa, ketika Dua Sejoli (Intan & Arya) dari MusikBagus, memberi sentuhan Hela Rotane dengan alunan lagu dan musik Indonesia yang mereka mainkan. Saat kita berada di dalam, seperti diajak memasuki lorong waktu untuk kembali menapaki jejak-jejak musik Indonesia tempo doeloe sebagai artefak yang harus dijaga dan dilestarikan.|Edo

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *