Film Tak Kenal Maka Ta’aruf: Ketika Cinta Menemukan Jalan Pulangnya

Urbannews | Dalam lanskap sinema remaja Indonesia yang sering kali memuja gairah dan kebebasan, “Tak Kenal Maka Ta’aruf” hadir sebagai semacam doa yang difilmkan. Karya orisinal dari platform literasi Wacaku, disutradarai oleh Toma Margenz dan diproduksi oleh Yahywa Titi Mangsa bersama IPB Press, ini bukan sekadar drama romantis, melainkan refleksi halus tentang bagaimana cinta dapat tetap suci tanpa kehilangan maknanya. Film ini dijadwalkan tayang di bioskop seluruh Indonesia mulai 13 November 2025.

Cerita berpusat pada Zoya (Saskia Chadwick), mahasiswi kedokteran yang teguh pada prinsip tidak berpacaran sebelum menikah. Ia hidup dalam disiplin nilai, tapi diam-diam menyimpan rasa takut untuk jatuh cinta—sebuah kondisi yang dalam psikologi disebut philophobia. Ketika Faris (Fadi Alaydrus), mahasiswa teknologi kelautan yang juga vokalis kampus, hadir dengan sikap santun dan kehangatan yang tulus, Zoya dihadapkan pada pergulatan batin antara iman dan keinginan, antara menjaga hati dan membiarkannya hidup.

“Aku takut jatuh cinta, bukan karena cinta itu salah, tapi karena aku tahu ia bisa mengubah segalanya,” lirih Zoya dalam satu adegan yang menjadi inti emosional film.

Margenz mengarahkan kisah ini dengan tempo yang pelan, seolah mengajak penonton untuk berhenti sejenak di tengah kebisingan dunia modern. Secara dramaturgi, film ini tidak mengejar ledakan emosi, melainkan meniti sunyi. Namun, di balik ketenangan itu, muncul kekuatan subtil: bahasa tubuh, tatapan, dan jeda—semuanya bekerja membangun spiritualitas naratif yang jarang dijumpai di film remaja masa kini.

Dalam acara press screening yang digelar di XXI Epicentrum, Kuningan, Kamis (6/11) sore, saya mencatat bahwa paruh pertama film terasa terlalu lamban, dengan dialog yang cenderung verbal dan repetitif. Mungkin saja ini siasat ritme dicoba menahan diri, dimana Margenz mengembalikan makna ta’aruf ke ranah yang seharusnya: bukan sekadar prosedur menuju pernikahan, melainkan proses memahami manusia lain lewat nilai dan niat.

“Cinta bukan tentang siapa yang membuatmu lupa segalanya, tapi siapa yang mengingatkanmu untuk pulang pada Tuhan,” ucap Faris dalam adegan menjelang akhir, yang terasa lebih seperti puisi daripada dialog.

Sinematografi film ini memanjakan mata dengan palet warna lembut—biru kampus, hijau daun, dan cahaya sore yang menenangkan. Musik akustik yang mengalun perlahan menegaskan suasana reflektif, sementara penampilan Saskia Chadwick menghadirkan kompleksitas Zoya: tegar tapi rapuh, rasional tapi penuh doa.

Sebagai karya yang memadukan romantisme remaja dengan kesadaran religius, “Tak Kenal Maka Ta’aruf” berdiri di persimpangan penting: antara idealisme dan realitas, antara cinta dan iman. Film ini menolak sensasi, memilih ketulusan. Ia mengingatkan bahwa di zaman ketika hubungan sering berakhir sebelum sempat dimulai, ada bentuk cinta yang tumbuh diam-diam dalam ruang bernama kesabaran.

Dan mungkin, di sanalah letak keindahan sejati film ini—pada keyakinan bahwa cinta yang paling modern justru adalah cinta yang paling beradab.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed