UrbannewsID Film | Menonton film, tidak sekedar menempatkannya sebagai medium hiburan belaka. Apalagi, hanya karena aktor maupun aktrisnya sebagai idola. Namun, dalam film ada inspirasi sebagai sumber mata air untuk kita merenung, intropeksi, sekaligus motivasi yang kita dapatkan.
Walaupun seni film tetap berada di zona rekayasa fiksi, namun pola pikir, paradigma, kecenderungan mode, gaya hidup atau arsitektur yang menyelusup dalam skenario dan setting cerita, itu adalah cerminan sebuah zaman yang tak terelakkan. Dan, ini artinya film merupakan sebuah dokumentasi sejarah atau penanda refleksi zaman.
Gumpalan budaya itu menyatu dalam adegan film yang merefleksikan sebuah miniature peradaban budaya dan sosial. Bayangkan saja, era atau zaman yang tidak kita ketahui atau alami sebelumnya, bisa kita tarik maju dan di rekonstruksikan lagi dengan menonton sekelebat adegan dalam film. Dan, ini adalah sensasi belajar sejarah serta kehidupan masa lampau.
Jadi tuturan di atas, penekanannya bahwa film tidak sekedar medium hiburan, tapi film adalah perekam zaman sekaligus perekat ingatan. Setidaknya, ada upaya edukasi untuk menghalau amnesia budaya yang kerap menjangkiti generasi-generasi sesudahnya yang tuna wawasan perihal pencapaian seni dan budaya di masa silam. Tapi, sekaligus menjadi sebuah literasi kultural.
Seperti, film Stadhuis Schandaal produksi Xela Pictures yang akan tayang 26 Juli mendatang di seluruh bioskop tanah air. Cerita roman dan penyutradaraan film yang digarap oleh Adisurya Abdy ini, mengangkat skandal cinta Sarah dan Pieter C dimasa kolonial pada tahun 1628, di Balaikota-Batavia, ke era millennial, lewat tokoh Fei.
Adisurya, mengajak kita menembus lorong waktu ke zaman VOC, dimana Jan Pieterzoon Coen sang Gubernur Jenderal berkuasa di Batavia. Kita bisa menukil sejarah pada masa itu, khususnya hukum adab yang berlaku, yakni hubungan beda ras dan beda strata tanpa ikatan perkawinan adalah sesuatu yang tabu. Dan, jika ketahuan make dianggap hubungan terlarang, konsekwensinya adalah mati!.
Menurut Remmy Sylado, sastrawan, budayawan, pemusik dan juga dosen, zaman VOC berkuasa di Batavia dengan begitu banyak Gubernur Jenderal, banyak skandal yang mencuat sebagai catatan sejarah. Tapi, Stadhuis Schandaal adalah yang paling menarik. Gedung Fatahillah yang kini menjadi museum, walau bangunannya baru di zaman Gubernur Jenderal sesudah Jan Pieterzoon Coen, dulu adalah sebagai balaikota.
Melihat film, sekali lagi, tidak saja sebagai medium hiburan an sich. Tapi, film sebagai miniatur kehidupan yang banyak memberikan pelajaran tanpa disadari. Kita bisa lihat rekonstruksi Indonesia di era kolonial, baik kehidupan sosial ekonominya, arsitektur kotanya, dan sebagainya sebagai literasi. Film harus mampu membuat keseimbangan antara hiburan dan idealisame. Film adalah perekam sejarah yang timeless, bisa ditonton kapan saja, dan dimana saja oleh generasi yang tak mengalaminya sama sekali.|Edo (Foto Dudut SP)