‘Lembar kertas yang berisi tulisan adalah ilmu, dan lembar kertas yang masih kosong adalah untuk kita mencari ilmu’
UrbannewsID Film | Kalimat diatas, sebagai penggambaran betapa sulitnya dua orang kakak-beradik, Diaz dan Putri, setelah ditinggalkan sang ayah, mereka bersama ibunya yang sakit-sakitan dalam bertahan hidup dan mengejar mimpinya untuk dapat menyelesaikan pendidikan, menulispun harus mengumpulkan kertas bekas.
Terlebih, ketika ibu yang selalu memberi motivasi untuk jangan menyerah dan selalu bersyukur, meningggalkannya pula karena sakit yang di deritanya. Mereka mengarungi hidup penuh kesulitan, sampai Putri, sang kakak harus berhenti sekolah untuk mencari nafkah, agar bisa makan serta adiknya bisa terus sekolah.
Film ‘Selembar Itu Berarti’ produksi Mora Heart Production berdurasi 1,5 jam, karya sutradara Dedy Arliansyah, untuk memberikan inspirasi kepada para pelajar untuk bangkit dalam meraih cita-citanya. “Ada banyak pesan moral di film ini, terutama untuk dunia pendidikan di Indonesia memang masih belum merata,” ungkap Dedy Arliansyah.
Film yang menghondol dua Rekor Muri, yakni kategori jabatan terbanyak dalam satu produksi film oleh sutradara dan kategori film yang banyak ditonton walau belum tayang secara resmi di bioskop. “Film tersebut dikerjakan oleh enam orang kru dengan proses pengerjaan film selama dua pekan di daerah Kabupaten Langkat dan Kabupaten Tapanuli Utara,” tukas Dedy Arliansyah.
Film akan tayang secara serentak di bioskop pada 24 Mei 2018 ini. Selain diperankan oleh anak-anak dari Medan seperti Putri Dalilah Siagian, Raihan F Valendiaz, Yessica T Simanjuntak, Ratu Rizka Apriani dan Cut Indah Rizky. Melibatkan pula beberapa aktris dan aktor senior lainnya seperti Anwar Fuadi, Raslina Rasyidin dan Jay Wijayanto.
Dari sisi konten film ‘Selembar Itu Berarti’, sebenarnya cukup menarik. Dedy Arliansyah selaku sutradara sekaligus penulis cerita, ingin menggambarkan potret buram pendidikan di Indonesia yang dialami masyarakat miskin. Tapi sayang, eksekusinya kurang digarap maksimal. Film berjalan sangat lambat, dramaturgi kurang terbangun, dan sepanjang film penuh dengan kesedihan.
“Isi cerita atau tema yang diangkat cukup bagus, ini bisa mewakili anak-anak yang memiliki semangat juang tinggi untuk tetap bersekolah walau keterbatasan secara ekonomi. Sayang, film ini terlalu flat atau datar. Harusnya, tidak melulu mengumbar kesedihan sepajang cerita, tapi lazimnya anak-anak, ada keceriaan yang terselip sebagai bentuk spirit,” pungkas Seto Mulyadi, Pemerhati Anak.|Edo