Urbannews | Senin, (20/10/2025) sore di XXI Epicentrum, udara Jakarta belum sepenuhnya reda dari panas yang mengendap sejak siang. Para jurnalis dan tamu undangan duduk menyimak layar besar yang segera menayangkan film terbaru garapan Makara Production, bertajuk Maju Serem Mundur Horor. Sebuah film yang—dari judulnya saja—sudah menjanjikan permainan ritmis antara ketegangan dan kekonyolan. Tapi seperti juga langkah kaki yang ragu, film ini tampak seperti berjalan di tempat: maju tak benar-benar, mundur pun tanpa daya kejut.
Disutradarai oleh Chiska Doppert, film ini mencoba meramu elemen horor dengan komedi remaja dalam kisah sekelompok mahasiswa film yang dihantui mimpi seragam. Poltak (Maell Lee), Bowo (Dodit Mulyanto), Dede (Daffa Ariq), dan Asikin (Yewen) bukan hanya harus menuntaskan tugas akhir, tetapi juga terperangkap dalam realitas supranatural yang membayangi mereka. Ditambah dua karakter perempuan—Tiara (Carissa Perusset) dan Mumun (Sara Fajira)—keadaan pun makin pelik saat kecelakaan menyeret mereka ke dalam teror yang nyata.
Namun, sepanjang film bergulir, sulit menampik kesan bahwa teror itu tak cukup menggigit. Ketika komedinya melambung, horornya meredup; dan ketika kegelapan mencoba mengendap, tawa yang dipaksakan justru mengusir atmosfer. Chemistry antara Maell Lee dan Dodit cukup menyelamatkan sebagian adegan, menghadirkan canda yang mengundang tawa lepas, termasuk Yewen, walau kadang terlalu slaptik mengumbar ‘manuknya’. Tapi di titik-titik tertentu, tawa itu terasa kosong, seperti echo di lorong-lorong bioskop yang tidak penuh.
Sara Wijayanto, yang biasanya bisa menjadi jantung kengerian di film-film bergenre sama, kali ini terasa hanya sebagai cameo rasa penasaran. Padahal, kehadirannya diharapkan menjadi poros rasa takut yang nyata. Entah karena naskah yang terlalu ringan, atau penyutradaraan yang canggung dalam menyulam dua genre yang saling bertabrakan, film ini lebih terasa sebagai sketsa panjang daripada narasi utuh.
Dibalik kekurangannya, Maju Serem Mundur Horor patut diapresiasi atas keberaniannya menyentuh isu-isu nyata seperti tekanan akademik dan dinamika pertemanan dalam masa kuliah. Ada kejujuran dalam representasi mahasiswa yang kewalahan, kehilangan arah, tapi tetap mencari tawa dalam keputusasaan.
Namun, pada akhirnya, press screening yang digelar sore itu seperti cermin dari filmnya sendiri—ramai, penuh janji, tapi minim sensasi. Tidak ada lonjakan adrenalin, tidak juga letupan emosi. Hanya senyum tipis yang tertahan, dan tanya pelan di kepala: horornya di mana, lucunya ke mana?
Film ini akan tayang serentak pada 23 Oktober 2024. Mungkin di layar yang lebih gelap, dan dengan suasana yang lebih sunyi, Maju Serem Mundur Horor akan menemukan napasnya. Tapi pada sore itu, di antara lampu-lampu mall dan suara sendok yang bersentuhan dengan gelas kopi, film ini terasa seperti cerita seram yang lupa menakut-nakuti—dan lelucon yang tertawa pada dirinya sendiri.
Tentu saja, tidak semua film horor harus membuat jantung berdebar, dan tidak semua komedi harus mengundang tawa. Kadang, cukup bikin kita duduk tenang sambil berpikir, “Yah, setidaknya AC-nya dingin dan kursinya empuk untuk sekedar menyandarkan punggung.” Maju Serem Mundur Horor memang bukan film yang akan menghantui tidur Anda—tapi cukup untuk membuat Anda merindukan skripsi yang sebenarnya. Karena meski tugas akhir terasa menakutkan, setidaknya ia tidak mencoba jadi lucu di saat yang salah.
Foto: Dok.RezaGrafer