Jakarta, UrbannewsID.| Jangan biarkan perjalanan sejarah bangsa Indonesia hanya menjadi sebuah catatan usang yang tertuang dalam buku lusuh, karena tidak pernah ada yang peduli membukanya apalagi membacanya. Dan, atau dibiarkan saja sejarah itu teronggok menjadi kumpulan arsip layaknya artefak yang tersimpan dalam rak buku penuh debu.
Sejarah perjalanan bangsa Indonesia bukan pula sekedar menjadi catatan kaki riwayat para saksi dan ahli, atas sebuah peristiwa nyata yang hanya mengendap dalam memori. Sejarah sebagai bagian penting dalam pembentukan peradaban, jangan dibiarkan ia hilang dan tenggelam karena ketidakmampuan menjaga, memelihara, apalagi diungkapkan.
Seperti kemahsyuran rempah-rempah Indonesia yang sudah tercatat di banyak manuskrip kuno sebagai salah satu komoditas penting dalam jalur perdagangan, bahkan sejak zaman kejayaan kerajaan-kerajaan besar di dunia. Maka tidak heran, pundi-pundi kekayaan dari rempah inilah yang membuat bangsa Eropa, termasuk Portugal, Spanyol dan Belanda masuk ke Nusantara dan memulai era kolonialisasi.
Rempah seperti cengkih dan pala termasuk komoditas yang sangat berharga dan nilainya lebih dari emas, seperti pernah ditulis oleh Jack Turner, yang mengutip katalog dari saudagar Italia Francesco Balducci Pegolotti. Apabila perjalanan rempah-rempah itu dipetakan, maka Indonesia menjadi pusat dari jalur rampah dunia. Cengkih dan pala hanya tumbuh di daerah barat Halmahera, yaitu Tidore, Ternate, Moti, Makian, Bacan, dan juga terdapat di Pulau Banda.
Menyadari betapa pentingnya Indonesia dalam peta perdagangan jalur rempah dunia, menggelitik hati Sheila Timothy bersama rumah produksi miliknya, Lifelike Pictures, membuat sebuah karya film panjang dokumenter pertama berjudul “Banda the Dark Forgotten Trail”. Film ini untuk menegaskan relasi antara masa lampau dengan masa kini, mempelajari apa yang terjadi dan akan terjadi, menjadi bagian dari identitas dan kesadaran komunal.
Banda the Dark Forgotten Trail yang di produseri oleh Sheila Timothy dan Abduh Aziz, naskah ditulis oleh Irfan Ramli, dan penyutradaraannya dipercayakan kepada Jay Subyakto yang konon baru pertama kali menangani film layar lebar, cukup menarik. Ditambah lagi, keterlibatan Reza Rahadian sebagai narator (Bhs Indonesia), Ario Bayu (Bhs. Inggris), memperjelas sekaligus mempertegas alur cerita jalur rempah dari waktu ke waktu lewat bidikan kamera Ipung Rachmat Syaiful, Davy Linggar dan Oscar Motuloh.
Mengisahkan kehidupan di Kepulauan Banda dan pala saat ini adalah mengisahkan sebuah riwayat tersembunyi yang membentuk kehidupan manusia hari ini. Kepulauan Banda dengan pala pada satu masa telah menjadi penyebab migrasi manusia secara besar-besaran dari satu kawasan ke kawasan lain dan menciptakan ruang akulturasi
bangsa bangsa dari seluruh penjuru dunia. Banda sebuah kawasan yang unik karena dihuni berbagai suku bangsa di Nusantara, Arab, Tionghoa, dan Eropa.
Banda the Dark Forgotten Trail, menuturkan ulang kisah sejarah Kepulauan Banda dan pala, melalui narasumber sejarah seperti Dr. H. Usman Thalib, Pongky Van den Broeke, Wim Manuhutu, Saharan Frangkemon, Lukman A. Ang, Tan Seng Djin, Siti Kadri, Husin Kiong, dan Maimuna Usman. Banda sebagai salah satu jalur rempah adalah sebuah cerita hampir terlupakan yang sebetulnya mampu membangkitkan kembali suatu semangat kebangsaan dan persatuan bangsa Indonesia saat ini.
Film Banda the Dark Forgotten Trail akan tayang serentak mulai 3 Agustus 2017 di jaringan bioskop nasional. Serta, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan membawa film ini untuk diputar di sekolah-sekolah terutama sekolah di Kepulauan Banda. Sheila Timothy selaku produser film ini berharap, “Semoga film ini dapat dinikmati oleh seluruh pencinta film nasional, dan sejarah Banda dapat kembali diingat untuk dijadikan semangat dan harapan untuk Indonesia di masa depan,” ujarnya di Plaza Indonesia XXI, kawasan Thamrin, Jakarta Selatan, Rabu (26/7) sore.|Edo (Foto Istimewa)