FFI 2017 Akan Dilaksanakan Lebih Profesional, Begitu Katanya!

Movie247 Dilihat
image
Foto (Ki-Ka) : Reza Rahardian, Leni Lolang, Cathy Sharon, Riri Riza, dan dua pembawa acara dalam peluncuran FFI 2017 di restoran Sofia at Gunawarman, Jakarta Selatan, Senin (21/8/2017) malam.

Jakarta, UrbannewsID.| Festival Film Indonesia (FFI) 2017, sudah memasuki tahun ke-37 penyelenggaraannya. Hajatan para pekerja seni yang satu ini, menjadi tolok ukur pencapaian tertinggi perfilman Indonesia. Indikatornya ditinjau dari aspek estetika, teknis, tema dan statement film yang diproduksi. Kali ini, penyelenggaraan FFI 2017 dipersiapkan dengan semangat kebersamaan merayakan keberagaman Indonesia, melalui ekspresi karya suatu film yang menekankan pada gagasan dan kreativitas.

Ketua FFI 2017, Leni Lolang, dalam sambutannya mengatakan, berdasarkan masukan dari berbagai unsur dalam perfilman Indonesia, panitia FFI tahun ini merancang sistem baru sebagai elemen kunci demi mendorong peningkatan kualitas fllm Indonesia untuk jangka panjang. Menurutnya, platform baru ini mendorong FFI menjadi kerja kolektif kolegial dengan dukungan unsur profesi perfilman, dan diharapkan FFI berikutnya Iebih mandiri sebagai milik unsur perfilman tanah air.

image
Foto (Ki-Ka) : Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid, Ketua FFI 2017 Leni Lolang, dan Wakil Gubernur Sulawesi Utara Steven Kandouw.

“Melalui visi tersebut, FFI diharapkan akan menjadi festival perayaan tahunan yang dilaksanakan Iebih profesional dan memaksimalkan potensinya. Platform baru ini akan mendorong penguatan FFI ke depan sehingga sistem penyeIenggaraannya akan konsisten pada setiap tahun, seperti halnya penyelenggaraan festival film internasional Iainnya,” jelas Leni Lolang, di acara launching dan press junket Kick Off FFI 2017, di Jakarta, Senin (21/8) malam.

Riri Riza, sutradara yang memiliki pengalaman mengikuti dan meraih penghargaan berbagai festival film, bertanggung jawab sistem penjurian FFI tahun ini. Menurutnya, ada tiga kriteria yang digunakan sebagai dasar penilaian, yaitu gagasan dan tema, kualitas teknik dan estetika serta profesionalisme. “Penjurian dilakukan secara jelas dan tepat kepada karya-karya dengan pencapaian tertinggi, sebagai tolok ukur bagi peningkatan kualitas film yang diproduksi pada tahun berikutnya,” kilah Riri.

Demi mewuiudkan hasil terbaik dari sistem penjurian tersebut, FFI 2017 akan melibatkan partisipasi langsung dari asosiasi profesi, penyelenggara festival di daerah, dan komunitas film melalui proses pemilihan internal dan voting. Masing-masing bisa mengirimkan 2-3 orang yang terbaik sebagai perwakilannya. Bentuk penjurian ini dimaksudkan juga agar kedepannya terjadi penguatan kelembagaan asosiasi perfiIman nasional yang ada.

Beberapa tahapan penting yang akan terjadi pada penyelenggaraan FFI 2017 yaitu pengembangan teknoIogi tabulasi, sosialisasi pedoman penjurian FFI 2017 kepada Asosiasi dan Komunitas, proses seleksi awal melalui Asosiasi dan Komunitas, proses pengajuan juri utama dari AsosiasI dan Komunitas, pengumuman nominasi, proses penjurian juri akhir dan pengumuman pemenang FFI 2017.

Puncak penghargaan FFI 2017 akan digelar di Manado pada 11 November mendatang, dengan 21 kategori penghargaan yang diberikan, dan penghargaan khusus berupa lifetime achievement serta in memoriam. Penghargaan FFI merupakan simbol atas usaha keras, kompetisi dan keseriusan setiap peraih penghargaan sehingga siapapun pemenang terpilih akan menjadi kebanggaan perfiIman Indonesia.

Dari skema penjurian FFI 2017 yang dibagikan, partisipasi dan pemberdayaan organisasi profesi perfilman menjadi titik utama dalam penjurian. Mereka yang terpilih akan melakukan verifikasi film-film peserta yang masuk, kurang lebih sekitar 100’an film kurun waktu 2016-2017. Hasilnya, akan masuk tabulasi data oleh akuntan publik dan akan diumumkan nominenya pada 5 Oktober 2017. Nominasi film terpilih, akan dinilai kembali oleh 75 juri akhir.

Dilihat dari skema penjurian diatas, FFI 2017 dengan sistem atau platform baru konon katanya, nampaknya tidak jauh berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Soal Independensi juri, melibatkan asosiasi profesi, jumlah juri sampai melibatkan akuntan publik pun tetap sama. Nampaknya, tidak ada standarisasi yang baku sebagai pegangan atau panduan untuk dijadikan rujukan sekaligus menjadi tolok ukur sistem penjurian sebuah festival.

Jadi tidak heran, acapkali FFI digelar sistemnya tidak berubah dengan pola yang itu-itu saja. Termasuk tatacara menilai sebuah film oleh para juri, kalau tahun lalu mereka di bekali data film untuk ditonton di rumah, kali ini pemutaran film secara online lewat web resmi penjurian, dan pemutaran secara khusus di bioskop. Pertanyaannya, bagaimana cara monitoring bahwa juri benar-benar telah melihat semua film yang masuk ditengah kesibukan mereka? Jangan sampai, beredar rumor pada penjurian tahun lalu banyak juri yang tidak nonton film yang dinilai.

Karena penilai sebuah film sangat vital dalam sebuah festival, kalau ini sampai berulang kembali, kredibilitas dan validitas pemenangnya tanda tanya?. Bukan cuma itu! Di era digital, urusan remeh-temeh penyediaan akses informasi pergerakan FFI sulitnya minta ampun. Contohnya, website FFI tidak berubah dan masih menggunakan domain yang lama. Hajatan besar bagi para insan film dengan dana cukup lumayan ini, harusnya tidak terlalu sulit membangun website wajah baru. Semoga saja, penyelenggara FFI tahun ini lebih lebih profesional, bukan sekedar begitu katanya!.|Edo (Foto Ihsan)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *