Dialog FFWI XIII; Bahasa Daerah Dalam Film Indonesia

Movie665 Dilihat

Urbannews | Tak ada fiksi yang tidak berangkat dari realita, termasuk film. Maka dari itu, se-absurd apapun sebuah cerita, apa yang terjadi di layar harus bisa dipercayai oleh penonton. Tuntutan ini seringkali berada di atas pundak para aktor.

Mereka harus bisa meyakinkan penonton bahwa karakter yang mereka perankan adalah individu dengan identitas dan kehidupan yang terasa nyata. Di sinilah letak pentingnya penggunaan bahasa. Lewat bahasa, penonton bisa mendapatkan gambaran mengenai kehidupan personal karakter tersebut; mulai dari kepribadiannya hingga budaya yang mereka lakoni sehari-hari.

Indonesia adalah negara yang besar. Dengan aset budaya yang beragam, penggunaan bahasa daerah di film Indonesia telah menjadi sesuatu yang lazim. Apalagi, industri film Indonesia hari ini sudah semakin sadar akan pentingnya representasi. Beberapa film yang sudah menggunakan bahasa daerah misalnya; Yuni-Bahasa Jawa-Serang, Ngeri-Ngeri Sedap-Bahasa Batak, Yo Wis Ben-Bahasa Malang, Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak-Bahasa Sumba, Uang Panai-Bahasa Bugis, Turah-Bahasa Tegal, Liam dan Laila – Bahasa Minang.

Seorang youtuber, komedian, sutradara, dan penulis skenario, Bayu “Skak” Eko Moektito, sebagai narasumber dalam acara webinar berjudul “Penggunaan Bahasa Daerah dalam Film Indonesia,” yang digelar Festival Film Wartawan Indonesia (FFWI), yang dipandu salah satu juri Supriyanto sebagai moderator, Selasa, 15 Agustus 2023, menyatakan akan terus mengusung kedaerahannya, terutama bahasa daerah jangan terpinggirkan dan lenyap sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia.

Bayu mengaku bangga dan sangat percaya diri untuk memproduksi film berbahasa daerah. Ini  bukan semata-mata  karena “Yo Wes Ben” telah berhasil meraih jumlah penonton sampai ratusan ribu.  Lebih dari itu, film berbahasa daerah  bisa ikut melestarikan penggunaan bahasa daerah.

“Saya bersyukur masih bisa berbahasa Jawa halus. Anak- anak generasi Z sekarang ini berbahasa Jawa dicampur dengan bahasa Indonesia,” kata Bayu.

Hal senada juga disampaikan narasumber  lainnya yakni Susi Ivvaty, mantan wartawan harian Kompas, peliput bidang seni dan film yang kini aktif di Tradisi Lisan dan Lesbumi—Lembaga Seni dan Budaya di bawah naungan ormas Nahdatul Ulama (NU). Menurut Susi, film sangat perlu memanfaatkan bahasa daerah jika cerita yang diangkat berlatar belakang adat dan budaya suata daerah tertentu.

“Di sinilah  kita lihat bahasa itu menjadi keutamaan rasa, bahasa budaya dan dalam bahasa daerah itu kuat sekali. Contohnya, film Uang Panai jika tidak menggunakan bahasa daerah, pasti terasa hambar dan tidak ada feelnya. Untuk itu, penggunaan bahasa daerah sebuah cara menghindari kepunahan bahasa.” urai Susi.

Sementara itu,  Edi Suwardi, Kapokja Apresiasi dan Literasi Film mewakili Ahmad Mahendra,  Direktur Perfilman, Musik dan Media, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi, dalam  sambutan mengakui kini semakin banyak film Indonesia yang menggunakan bahasa daerah.

Menurut dia, hal ini antara lain berkat upaya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang menggalakkan penggunaan bahasa daerah di berbagai media pandang dengar. Kementerian juga telah mendanai produksi film yang menggunakan bahasa daerah.

Alasan lain meningkatnya penggunaan bahasa daerah dalam film Indonesia, tambah Edi, maraknya era digital. Sekarang jauh lebih mudah memproduksi dan mendistribusikan film, dan hal ini menyebabkan pembuatan film menjadi lebih beragam. Termasuk film-film yang menggunakan bahasa daerah.

Dari webinar FFWI XIII terungkap, adat dan budaya beragam yang unik menjadi sumber cerita berbagai genre film, termasuk bahasa daerah. Wacana mengangkat film berbahasa daerah tidak saja terkait untuk kepentingan komersial, atau sebagai hiburan. Lebih dari itu, penggunaan bahasa daerah dalam film,  sekaligus  bisa menadi salah satu cara untuk melestarikan bahasa daerah, yang  kini kian tereliminasi dalam bahasa pergaulan generasi Z.

Tapi sebuah catatan penting penggunaan bahasa daerah dalam film Indonesia. Tersebab tak sedikit juga film Indonesia yang akhirnya malah dipertanyakan karena penggunaan bahasa daerahnya tidak maksimal, yang menyebabkan bahasa daerah di film sering terdengar cringe dan tak autentik, alias dipaksakan. Untuk itu, perlu para pelatih aksen (accent coach) untuk mengajarkan mulai dari fonologi hingga vokal untuk pelafalan bahasa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

72 komentar