Urbannews | Di sebuah ruangan terbuka di timur Jakarta, aroma kopi hitam pekat bercampur lembut dengan debu kertas dan sisa-sisa perdebatan panjang yang tertinggal di udara. Meja kayu panjang dikelilingi wajah-wajah lelah tapi puas — para juri awal Festival Film Wartawan 2025 baru saja menyelesaikan tugas yang tidak hanya menuntut kejelian, tapi juga keberanian untuk jujur dan tidak berpihak.
Acara yang berlangsung hari ini, Senin (6/10/2025), yang didukung JTOWN Food and Entertainment Center dan Connecting College, Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) modern, mereka — para juri akhir, menyerahkan resume resmi penilaian awal kepada dewan juri akhir, yang disaksikan panitia inti — dokumen tipis namun padat, yang akan menentukan nasib film-film yang masuk ke babak utama.
Resume itu bukan sekadar daftar. Ia adalah hasil saringan batin dan nalar dari 21 orang juri awal, yang selama kurang lebih 3 bulanan menyaksikan, mendebat, dan merenungi puluhan film yang terbagi dalam tiga genre, yakni komedi, drama, dan horor. Di balik setiap centang dan catatan kecil dalam resume itu, ada percakapan larut malam, pertanyaan-pertanyaan etis, dan bahkan kebimbangan yang tak selalu terselesaikan.
Mata dan Hati yang Memilah
Juri awal tahun ini terdiri dari para wartawan yang telah malang-melintang dalam dunia jurnalisme dan sinema. Mereka ditugaskan untuk menyeleksi film-film peserta yang sudah tayang di bioskop Indonesia juga OTT— karya yang sebagian besar lahir dari tangan-tangan sineas, dengan semangat menyala-nyala dan, kadang, idealismenya.
“Kami tidak hanya menilai teknis dan narasi,” ujar Edi Karsito, salah satu juri awal yang juga dikenal sebagai kolumnis film di beberapa media. “Kami juga mencari keberanian. Film yang punya suara. Yang punya urgensi untuk diceritakan.”
Dalam proses penjurian, layar-layar kecil dipenuhi keganjilan: yang rapi terasa dingin seperti drama yang lupa menangis, yang kacau justru memeluk seperti horor yang mengerti kesepian. Ketepatan teknis tak selalu membawa ruh—terkadang justru menciptakan jarak, seperti tawa yang pecah di ruang yang salah. Di sisi lain, kekeliruan bisa berubah jadi sesuatu yang ganjil: jenaka tanpa niat melucu, menyeramkan tanpa upaya menakut-nakuti, dan mengharukan tanpa sebab yang dapat dijelaskan. Film-film itu seperti cermin bengkok: tak memberi pantulan yang akurat, tapi justru menunjukkan hal-hal yang tak pernah kita sadari sedang mengintip dari balik layar.
Resume Penilaian: Komedi, Drama, dan Horor
Dalam dokumen resume yang diserahkan hari ini, juri awal membagi pilihan mereka ke dalam tiga genre utama, di antaranya — komedi, drama, dan horor — menjadi perhatian khusus karena jumlah peserta yang tinggi serta kualitas yang bervariasi.
Menuju Keputusan Juri Akhir
Resume yang diserahkan kepada juri akhir memuat catatan, skor, serta argumentasi dari para juri awal — bukan untuk menggiring pendapat, tapi untuk membuka ruang diskusi lebih luas dalam proses seleksi akhir. Para juri akhir akan memilih film terbaik dari ketiga genre masing-masing, berikut elemen pedukung dalam film, sekaligus menetapkan satu Film Terbaik Festival Film Wartawan 2025.
“Resume ini bukan akhir dari penilaian kami,” kata Mathias, juri awal lainnya. “Ini adalah pengantar bagi diskusi yang lebih luas, yang nanti akan dibawa ke publik melalui festival.”
Menanti Festival November Mendatang
Festival Film Wartawan 2025 akan digelar November mendatang di Jakarta, dengan pemutaran film publik, sesi diskusi terbuka, dan penghargaan utama. Namun lebih dari sekadar kompetisi, festival ini terus diharapkan menjadi ruang reflektif — tempat di mana film bukan hanya tontonan, tapi juga ajakan untuk berpikir, merasakan, dan, mungkin, berubah.
“Resume ini mungkin hanya dokumen,” ujar salah satu panitia, yang didampuk sebagai Ketua Dewan Juri, Irish Riswoyo, sambil menyalami para juri, “Tapi di dalamnya ada nyawa.”
Dan seperti setiap film yang baik, hari itu pun ditutup tanpa kesimpulan pasti — hanya sebuah perasaan bahwa sesuatu yang penting sedang disiapkan untuk dilihat dunia.