Urbannews | Industri film di Indonesia terus meningkat, baik dari segi kuantitas, kualitas, maupun jumlah penonton. Dari sekian banyak judul film yang dirilis, belakangan banyak film yang skenarionya hasil adaptasi dari novel, komik, maupun cerita pendek.
Ternyata film-film adaptasi ini menarik banyak penonton. Sebut saja Laskar Pelangi, Ayat-Ayat Cinta, Teman Tapi Menikah, 99 Cahaya di Langit Eropa, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Dilan 1990, hingga Wiro Sableng. Bahkan, Dilan 1990 menjadi salah satu film terlaris dengan 6,3 juta penonton.
Melihat suksesi film adaptasi, kenapa tidak membuat film adaptasi? Celoteh produser pun bermunculan, menurut mereka membuat film dari naskah orisinal lebih repot daripada dari naskah adaptasi. Konon katanya, untuk naskah orisinal harus membangun dan mempromosikannya lebih lama.
Bahkan ada yang mengatakan, produksi film itu seperti perjudian. Pasalnya, tidak ada jaminan film yang diproduksi akan laris di pasaran. Dengan mengangkat novel ke layar lebar, paling tidak bisa diperkirakan jumlah penonton yang bakal menonton walaupun itu juga tidak pasti karena ada ekspektasi tersendiri dari penonton yang sudah membaca bukunya.
Menukil cerita diatas sangatlah menarik. Maka tidak salah, jika panitia Festival Film Wartawan Indonesia (FFWI) XII – 2022, menggelar webinar keduanya bertajuk “Buku Best-Seller, Film Box Office?, dengan menghadirkan narasumber; Hanung Bramantyo (Sutradara), Asma Nadia (Penulis Novel), Jujur Prananto (Penulis Skenario), Noorca M Massardi sebagai moderator.
Bagi para penggemar buku fiksi atau novel best seller, tentu sudah tahu jika banyak sekali yang akhirnya dibuatkan versi film-nya. Dan, seperti yang diharapkan para sutradara, kebanyakan dari film-film itu pun juga ikut laris manis hingga meraup pendapatan yang fantastis.
Sutradara Hanung Bramantyo memuji tema webinar Buku Best Seller, Film Box Office? yang digelar FFWI XII-2020 seri kedua, jadi tema menarik dan menjadi sangat penting, jika tayangan ini diketahui masyarakat umum terutama penonton film Indonesia.
“Karena problem utama dalam pembuatan adaptasi karya novel ke film, sebetulnya tidak hanya pada kreativitas film maker, tetapi juga pada mindset penonton. Kebanyakan penonton Indonesia selalu menganggap film bukanlah new message dari novel. Kalau begitu, maka film dan novel tidak pernah works.” tuturnya.
Namun menurut Hanung, jika penonton sudah punya kesadaran bahwa film adalah sebuah karya baru dari novel, maka jika sebuah film mengadaptasi novel apapun hasilnya, tidak akan jadi persoalan lagi. “Dan pasti tidak ada perdebatan kenapa filmnya tidak sesuai novel. Atau kok filmnya malah lebih jelek dari novel,” ungkap ayah lima anak tersebut.
Padahal, masih kata Hanung, produk novel memang berbeda dengan film. “Novel dikerjakan oleh satu orang, sementara film digerakan oleh banyak orang. Dan sangat tidak mungkin film dikerjakan seorang diri, sehebat apapun sutradaranya,” ungkap pria bernama lengkap Setiawan Hanung Bramantyo yang berusia 46 tahun ini.
Lebih lanjut Hanung menyebutkan, dalam mengadaptasi cerita novel, sebagai sutradara tidak ada keinginannya untuk melencengkan cerita. “Sama sekali tidak ada. Itu yang harus disadari bersama. Tidak ada keinginan atau egositas dari film maker untuk kemudian melencengkannya dari novel,” ujar Hanung sungguh-sungguh.
Tapi kenapa tetap bisa terjadi sebuah novel yang diadaptasi sangat berbeda dengan film? Menurut Hanung, ini memang berpulang pada soal struktur cerita. “Kadang-kadang dalam novel best seller yang saya temui, strukturnya berbeda jauh dengan struktur baku dari teori penulisan skenario tiga bab atau delapan sequence,” ungkap Hanung lagi.
Hanung juga menyebut, sebetulnya akan jauh lebih leluasa sebuah novel diadaptasi bukan ke dalam film layar lebar, melainkan ke dalam cerita series. Karena series punya ruang untuk menjelaskan dan bisa bermain dengan karakter yang ada.
“Penonton bisa menyaksikan film series, sama seperti membaca novelnya. Kalau kita nonton series sambil ngantuk, bisa distop dulu. Kemudian nanti nyambung lagi! Kalau film tidak bisa begitu? Karena film layar lebar, basic-nya seperti nonton opera. Masuk, duduk, dan ikutin alur yang ada sampai ending!”
Sementara Penulis laris Asma Nadia, menyebut karya tulisnya yang difilmkan, tidak melulu melalui dari novel yang sudah diterbitkan dan menjadi best seller. “Bisa juga dari cerpen saya atau malah sinopsis yang sengaja saya tulis sepanjang 6-8 halaman. Namun, itu memang tidak mudah. Saya kirim sinopsis itu sampai tujuh kali ke Manoj (Punjabi) baru direspon,” ujar Asma Nadia.
Asma Nadia mengaku, sejak pertama kali bukunya difilmkan yakni “Mak Ingin Naik Haji”, dan “Rumah Tanpa Jendela”, ia paham betul bahwa karya film pasti berbeda dari buku. Karena kebutuhan visual dan kebutuhan tulisan pasti berbeda. Namun, ketika karyanya difilmkan, Asma Nadia meminta kepada produser, penulis skenario dan sutradara untuk tetap menggunakan benang merah atau semangat untuk tetap setia pada novelnya.
“Jadi visualnya boleh seperti apa, namun saya minta semangatnya tetap sama. Saya juga minta ke pihak production house untuk dilibatkan dalam pengembangan skenario, baik sebelum film dibuat atau dalam proses syuting. Namun, saya juga tahu batasan untuk tidak mengintervensi kerja sutradara di lapangan!”
Sedangkan, sebagai penulis skenario Jujur Prananto, melihat masih ada penulis novel yang sangat posesif dengan karyanya yang bakal difilmkan. Dan ini menjadi hambatan bagi pekerjaannya mengadaptasi cerita. “Ada penulis dan bukan Mbak Asma nih, yang kadang memperlakukan novelnya seperti seorang Ibu yang membanggakan sang anak. Padahal, si anak kurang cemerlang. Tapi sebagai Ibu, tetap saya ia membangga-banggakan!” kata Jujur.
Berdasarkan pengalaman Jujur, saking posesifnya sang penulis novel dengan karya tersebut, bisa menjadi hambatan bagi pekerjaannya sebagai penulis skenario. “Karena dia terus menguntit, untuk selalu kayak mengabsen. Untung, ketika itu saya hanya menjadi konsultan, bukan penulis skenarionya,” tutur Jujur yang menulis skenario “Ada Apa Dengan Cinta” (2002).
Karena itu, menurut Jujur wajib bagi dirinya sejak awal berbicara pahit dengan produser tentang seberapa bebas, ia bisa melakukan adaptasi. Dan seberapa jauh keterlibatan sang penulis novel. Jujur setuju dengan pernyataan Hanung, yang menyebut, saat menerima pekerjaan menulis skenario dari adaptasi apapun, baik novel, cerpen bahkan true story, tidak ada niatan untuk memelencengkan cerita.
Menurut Jujur, jika sebuah novel sudah filmis, sudah langsung terbayang suasana dan strukturnya. Tinggal memang pada sebuah novel selalu ada ruang untuk menceritakan tokoh dengan detail. Namun dalam menghadapi novel kaliber tertentu, seperti “Bumi Manusia” karya Pamoedya Ananta Toer yang pernah akan diproduksi Mira Lesmana, Jujur mengaku ada perasaan ngeper untuk bermain-main.
Webinar FFWI Seri kedua, selain dihadiri Wina Armada selaku Ketua Pelaksana FFWI 2022, diikuti pula oleh Eddy Suwardi Dit PMM Kemendikudristek, Ahmad Fuadi, penulis novel Trilogi Negeri 5 Menara dan lebih kurang 50 wartawan hiburan.