Collab Generations: Ketika Ello Menyatukan Musik Dan Waktu di Deheng House

Urbannews | Di antara deru malam Jakarta Selatan yang tak pernah benar-benar sunyi, sebuah bangunan berdiri tegap di jantung Kemang—menawarkan lebih dari sekadar tempat bertemu. Ia adalah panggung. Ia adalah rumah. Ia adalah Deheng House.

Bukan pula sekadar ruang untuk hangout atau bersantai, Deheng House mengusung misi menjadi tempat bernaung bagi jiwa-jiwa kreatif, khususnya para musisi lintas zaman. Dalam langkah perdananya, rumah ini memulai perjalanan dengan menyuguhkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar konser—ia mempertemukan generasi, genre, dan gairah dalam satu malam penuh makna.

Soft Launching Deheng House

Deheng House, destinasi hangout terbaru di Kemang, Jakarta Selatan, membuka pintunya untuk publik lewat gelaran bertajuk “Collab Generations”—sebuah intimate concert yang menjadi bagian dari soft launching mereka.

Mengusung konsep lintas usia dan genre, acara ini mempertemukan tiga generasi musisi dalam satu panggung. Mulai dari warna nostalgia era 80-an, semangat pop 2000-an, hingga suara kontemporer yang menggugah hati. Semua dirangkai dalam satu malam yang sarat kehangatan.

“Melalui konser ini, kami ingin menunjukkan bahwa Deheng House terbuka untuk siapa saja—muda maupun tua, pop ataupun rock. Tempat ini bukan hanya untuk bersantai, tapi juga menjadi ruang kreatif bagi musisi untuk berkarya,” ujar Amelia Mailowa, Direktur Utama Deheng House, Jumat (26/9/2025).

Empat Lantai, Satu Jiwa

Deheng House tak hanya sekadar nama. Ia terdiri dari empat lantai yang masing-masing memiliki identitas unik:

• De Resto (Lt.1): tempat bersantap dengan atmosfer yang hangat.
• De Kofi N Ti (Lt.2): kedai kopi dan teh untuk melepas penat.
• De Private Room (Lt.3): ruang privat untuk acara tertutup atau intimate gathering.
• De Concert Room (Lt.4): jantung kreativitas, tempat panggung dan suara bertemu.

Dan di lantai terakhir inilah, malam “Collab Generations” digelar.

Konser Dimulai: Antara Karaoke, Rock Disco, dan Suara Warisan

Tepat pukul 20.00 WIB, acara dibuka oleh Kawan Dansa, yang membawakan karaoke DJ set bertema lagu-lagu 2000-an. Meski tampilan mereka tampak kurang sinkron, dan durasi tampil cukup menyita waktu, suasana tetap cair dan hangat.

Kemudian, panggung diambil alih oleh BandSAT!, sebuah grup musik yang membawakan aransemen khas era 80-an. Dimotori oleh Yuke Sampurna, bassis legendaris dari Dewa 19, BandSAT! menghadirkan energi nostalgia. Mereka diperkuat oleh Magi (drummer RIF) dan Ivan dari 9 Ball, menciptakan alunan rock-disco yang menggugah kaki dan kenangan.

Namun sorotan malam itu tentu tertuju pada sang bintang: Marcello Tahitoe, atau yang akrab disapa Ello.

Ello: Menyanyikan Warisan, Merayakan Harapan

Di hadapan sekitar 300-an penonton yang memadati De Concert Room, Ello naik ke panggung. Suaranya menggema, tapi kata-katanya lebih dulu menyentuh.

“Saya senang sekali bisa tampil di Deheng House malam ini. Semoga tempat ini bisa menjadi ruang pertunjukan yang layak bagi para musisi di Jakarta,” ucapnya dari atas panggung, menyuarakan harapan yang tak hanya miliknya, tapi milik banyak seniman di ibu kota.

Tanpa banyak jeda, Ello langsung mengalunkan lagu legendaris “Pergi Untuk Kembali”, ciptaan ayahnya, Minggus Tahitoe. Disusul dengan “Benci Tapi Rindu”, karya monumental Rinto Harahap yang dulu dipopulerkan oleh mendiang ibunya, Diana Nasution. Malam itu, Ello seakan menjahit masa lalu dan masa kini dalam kesatuan yang menyentuh.

Sebuah Awal untuk Cerita Panjang

Malam itu bukan sekadar konser. Ia adalah pernyataan. Bahwa Deheng House hadir bukan hanya sebagai tempat nongkrong, tapi juga ruang aman bagi para musisi, seniman, dan siapa pun yang mencari tempat untuk kembali, atau mungkin, memulai.

Kemang kini punya sebuah rumah baru. Rumah untuk semua generasi. Rumah bernama Deheng House.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *