Urbannews | Ada yang berbeda di Wangsa Timoer, Fatmawati, Jakarta Selatan, aroma musikal yang berpadu dengan wangi kopi dari pojok ruangan. Di antara percakapan ringan dan denting gelas, perlahan musik mulai tumbuh dari kesunyian — seperti benih yang menembus tanah setelah lama tertidur. Orang-orang datang bukan sekadar untuk menonton, tapi untuk menemukan sesuatu yang lebih halus dari sekadar hiburan: wangsit, petunjuk bagi jiwa-jiwa yang tak bisa diam dalam diamnya dunia.
Malam itu, Kamis (6/11), Cari Wangsit Vol. 6 digelar di Wangsa Timoer — ruang seni yang telah lama menjadi persinggahan ide, diskusi, dan harmoni. Bukan konser megah, tapi justru dalam kesederhanaannya, acara ini memancarkan kehangatan yang lebih jujur. Dinding yang dipenuhi ornamer poster musik, lampu temaram, dan senyum-senyum gugup dari para musisi muda menjadikan suasana seperti rumah bagi para pencinta bunyi dan kata.
Dipandu oleh Safir dari KurasiMusik, pertemuan ini memadukan dialog dan pentas, di mana panggung menjadi tempat bertukar energi dan pandangan. Hadir sebagai narasumber, Sandy Canester — penyanyi, komposer, sekaligus produser musik — tampil dengan kerendahan hati yang memikat. Ia bukan datang sebagai bintang, melainkan sebagai kawan seperjalanan yang ingin berbagi terang di jalan sunyi penciptaan musik.

Dengan gaya tutur yang akrab, Sandy membedah proses produksi musik dari sisi paling manusiawi: intuisi, perasaan, dan kejujuran.
“Lagu yang enak bukan karena alat mahal atau teori yang rumit. Ia enak karena punya hati. Karena ada sesuatu yang ingin disampaikan, bukan sekadar diperdengarkan,” ujarnya, dan seketika ruangan terasa hening.
Para musisi muda mendengarkan, mencatat, dan beberapa bahkan tersenyum — mungkin karena menemukan refleksi diri di sana. Sandy tak hanya berbagi teknis, tapi juga semangat.
“Kalian tidak harus menunggu kesempatan datang. Mulailah dulu. Satu lagu bisa membuka seribu pintu,” katanya, disambut tepuk tangan yang tulus.
Safir memandu percakapan mengalir lembut. Diskusi menjelajahi topik-topik hangat: bagaimana teknologi mengubah peta produksi musik, bagaimana idealisme mesti berjalan seiring dengan realitas industri, hingga bagaimana rasa harus tetap menjadi kompas utama. Dari situ, malam bergerak menuju sesi penampilan band-band muda. Setiap nada yang lahir di atas panggung seolah menjawab percakapan sebelumnya — mereka bukan lagi penonton, tapi pelaku yang sedang mempraktikkan “wangsit” yang baru saja mereka temukan.
Salah satu penonton yang hador, Rizky, gitaris dari band independen asal Depok, mengaku tak menyangka akan mendapat dorongan sebesar itu.
“Saya datang cuma mau nonton, tapi pulang jadi ingin rekaman lagi. Ternyata semangat itu benar-benar bisa menular,” ujarnya sambil tertawa kecil.
Sementara bagi Emmy Tobing, penggagas Cari Wangsit, sekaligus pengelola Wangsa Timoer, malam itu adalah bukti bahwa ruang kecil bisa menyalakan api besar.
“Kami ingin acara ini jadi wadah belajar dan bertumbuh bersama. Musik bukan hanya soal tampil, tapi juga soal memahami proses kreatif di baliknya,” tutur Emmy dengan mata berbinar.
Selepas sesi dialog yang hangat bersama Sandy Canester—yang bukan hanya membedah anatomi musik, tapi juga menyuntikkan semangat untuk terus mencipta—malam itu di Wangsa Timur perlahan bergeser dari ruang pikir ke ruang rasa. Lampu-lampu panggung menyalakan wajah-wajah muda yang siap menyalurkan energi mereka dalam dentum bunyi dan nyala jiwa.
Satu per satu band penampil yakni; Fusi, Geeks on Gig, dan Discover Me naik ke atas panggung, membawa lagu-lagu yang lahir dari keberanian, kegelisahan, dan mimpi mereka sendiri. Tak ada jarak antara musisi dan penonton—semuanya larut dalam suasana yang lebih menyerupai ritual pencarian makna.
Nada-nada gitar berpadu dengan sorak sorai, drum berpacu dengan detak jantung, sementara suara vokal mengoyak malam seperti mantra yang memanggil semesta untuk turut mendengar. Di sanalah, semangat yang tadi disulut dalam dialog kini menjelma menjadi nyala api di panggung; membakar ragu, menyalakan keyakinan.
Dan ketika malam kian menua, gema musik perlahan mereda, meninggalkan jejak hangat di dada siapa pun yang hadir. Wangsa Timur kembali menjadi ruang sunyi setelah penuh tawa, tepuk tangan, dan percikan energi kreatif yang berloncatan dari setiap nada.
Sandy Canester dan Emmy Tobing menutup malam itu dengan senyum—seakan tahu, benih-benih semangat yang ditanam lewat kata dan nada akan tumbuh di hati para musisi muda. “Cari Wangsit” bukan sekadar nama acara, tapi panggilan bagi mereka yang terus mencari arah dan makna lewat musik.
Di balik lampu panggung yang padam, masih tersisa gema: bahwa musik bukan sekadar hiburan, melainkan perjalanan spiritual menuju kejujuran diri. Dan di malam itu, Wangsa Timur menjadi saksi—bahwa api kecil dari semangat dan kolaborasi bisa menerangi jalan panjang ekosistem musik independen untuk terus hidup dan menyala.



