Urbannews | Malam itu, Sabtu (18/10), langit Jatinegara perlahan mengendur. Angin menimang sisa panas aspal, sementara di sebuah sudut kecil area terbuka bernama Clay Coffee Space, waktu seolah berhenti di antara kepulan kopi dan asap Djarum Cigarillos. Di sinilah musik blues menemukan cara barunya untuk hadir — tidak di panggung megah, bukan di festival yang riuh, tapi di ruang yang lebih sederhana: sebuah coffee shop space.
Ketika Gugun Blues Shelter main dititik pertama acara Firts Class Djarum Cigarillos, naik ke panggung mini disudut ruangan terbuka, mendadak seperti ditarik pelan menuju dimensi lain. Petikan pertama gitar Stratocasternya Gugun menggema ringan namun berkarakter, ditingkahi Angga Prat di bas mengalun tebal, Refki Nanda di drum mengayun stabil, mengirimkan frekuensi yang hangat menembus dinding area berpayung langit dan aroma espresso yang baru diseduh, serta kepulan asap cigarillos. Tak ada teriakan, tak ada gemuruh penonton, hanya tatapan yang menunggu—dan sebagian lainnya tetap asyik dengan obrolan di meja.
Di sanalah kontras itu menarik: antara musik yang menggali rasa dan manusia yang tetap ingin berbincang. Beberapa menikmati setiap lick gitar dengan kepala terangguk pelan, sementara yang lain membahas hal-hal remeh seperti cuaca atau urusan kerjaan yang belum selesai. Namun, Gugun tetap mengalir, membiarkan nadanya menyapa siapa pun dengan cara masing-masing.
Blues malam itu bukan untuk disembah. Ia hadir untuk dihirup perlahan—seperti kopi hitam yang dibiarkan mendingin sebelum tegukan pertama. Asap Cigarillos melingkar di udara, memantulkan cahaya dari lampu dan rembulan, sementara nada-nada minor dari gitar Gugun menembus semua itu, membangun semacam keseimbangan antara kesunyian dan kebisingan kecil yang manusiawi.
Setiap lagu terasa seperti percakapan intim. Kadang Gugun menyelipkan sedikit candaan, kadang membiarkan gitarnya bicara sendiri. Di kursi dekat panggung, seorang perempuan berambut pendek menulis sesuatu di buku catatan kecil—entah lirik, entah kenangan. Seorang pria di pojok sibuk dengan kameranya, mencoba menangkap momen tanpa benar-benar mengganggu.
Gugun Blues Shelter malam itu seperti membawa napas panjang dari Chicago ke Jatinegara. Tapi bukan untuk meniru, melainkan untuk mengadaptasi—membuktikan bahwa blues bisa hidup di mana saja, bahkan di antara tawa, obrolan, dan denting sendok yang beradu di gelas kaca.
Ketika lagu terakhir usai, tak ada tepuk tangan berlebihan. Hanya senyum-senyum kecil, beberapa bisikan “mantap” dari pojokan, dan secangkir kopi yang sudah tinggal separuh. Tapi disanalah keindahan itu justru nyata: musik tak perlu memonopoli perhatian untuk menyentuh rasa.
Di acara Firts Class Djarum Cigarillos, Gugun Blues Shelter tidak sendirian, Opa Ewin sang Promotor dari Dos Hermanos dan Djarum Cigarillos, membuka sepi area Clay Coffee Space dengan iringin alunan musik elektronik, disusul Anov Blues One bersama gitar vintage 3 senar plus 1 senar dari gagang pacul karyanya, membawakan 4 lagu. Dan, disela Gugun Blues Shelter, musisi muda blues Arya Novanda ikut jamming.
Malam itu, di Clay Coffee Space, blues tidak sedang tampil. Ia sedang berbaur. Dengan kopi, dengan kepulan asap Djarum Cigarillos, dengan obrolan, dengan manusia. Dan mungkin, di sela semua itu, kita sadar bahwa hidup pun sebenarnya seperti blues—kadang sendu, kadang ringan, tapi selalu jujur.