Cotter Phinney, Produser Rekaman Brooklyn NY, yang merilis dan mastering ulang album rock SAS di New York
Urbannews | Di sebuah malam musim dingin Brooklyn, jarum turntable berputar pelan, seolah membangunkan kembali gema masa lalu. Dari balik kaca studio KPiss FM, suara DJ Cotter Phinney meluncur mantap, “Long live ‘70s Indonesian rock, this is Baby Rock by SAS.” Kalimat itu menggulung udara, membawa ingatan pada suara gitar dan drum yang lahir di Surabaya setengah abad silam—musik yang menolak padam meski zaman terus berubah.
Peluncuran khusus yang berlangsung akhir pekan lalu itu menjadi penanda penting: kembalinya album koleksi piringan hitam SAS Group di New York, diproduksi oleh label independen asal Brooklyn, Psychic Reader. Cotter, sang DJ sekaligus pemilik label, memutar sembilan lagu pilihan dari SAS dan AKA sebagai selebrasi—sebuah penghormatan pada rock Indonesia era ’70-an yang kini menemukan kembali pendengarnya di benua lain.
SAS, Legenda Surabaya yang Tak Pernah Benar-benar Hilang
Bagi fandom psychedelic rock di Amerika, SAS Group bukan nama asing. Band yang berdiri pada 1975 ini digawangi Soenatha Tanjung (gitar, vokal), Arthur Kaunang (bass, keyboard), dan almarhum Syech Abidin (drum, vokal)—formasi yang sebelumnya merupakan bagian dari AKA (Anak Kali Asin) bersama Ucok Harahap sebelum akhirnya berpisah.
Terpengaruh oleh gelombang rock progresif dan hard rock seperti Emerson Lake & Palmer, Deep Purple, Pink Floyd, hingga Grand Funk, SAS merilis debut album mereka pada 1975. Kritikus musik Indonesia, Denny MR, menggambarkannya sebagai momen ledakan: “Tahun 1975, mereka merilis debut album dengan hit Baby Rock, sebagai sumbu ledak kelahirannya di panggung dan rekaman musik rock Indonesia.”
Dari Surabaya ke Generasi Z
Tak hanya Baby Rock, lagu-lagu SAS seperti Space Ride, Bad Shock, dan Tatto Girl kembali diburu puluhan ribu pendengar milenial dan gen Z. Di YouTube, video lirik Baby Rock ditonton ratusan ribu kali—sebuah bukti bahwa dentuman dan distorsi ala SAS mampu menembus batas generasi.
Di berbagai toko reseller musik luar negeri, koleksi kaset dan piringan hitam SAS dari lebih dari 15 album menjadi komoditas panas. Setelah album terakhir mereka pada 1991, untuk pertama kalinya album SAS Group dirilis kembali dalam bentuk piringan hitam di luar Indonesia, dimulai dengan Bad Shock oleh Psychic Reader, New York.
Pengakuan dari Brooklyn: “Musik Indonesia Terlalu Baik untuk Diabaikan”
Cotter Phinney mengungkapkan alasan di balik pilihannya mengangkat SAS ke panggung global.
“Dibandingkan musik dari negara lain, entah mengapa musik Indonesia seolah terabaikan, padahal banyak yang bagus,” ujarnya.
“SAS adalah band yang sangat bagus dan mereka seharusnya mendapatkan lebih banyak pengakuan. Merupakan kehormatan bagi saya memproduksi rekaman SAS pertama di luar Indonesia. Saya berharap ini menjadi pintu menuju audiens global.”
Cotter sendiri merupakan gitaris dan vokalis band post-punk Brooklyn, Medium. Ia menyebut proyek ini sebagai “misi milik hati”.
Gebrakan 50 Tahun SAS
Bagi Arthur Kaunang, momen ini lebih dari sekadar rilis ulang. “SAS reborn ini adalah gebrakan kebangkitan musik rock ‘70-an. Saya tidak pernah bermimpi musik SAS masih bisa hadir dan disukai hingga kini—apalagi dirilis di New York, tepat 50 tahun SAS. Ini mukjizat Tuhan bagi kami bertiga,” ucapnya.
Bahkan sebelum dirilis secara resmi, distributor musik di Jepang sudah mengajukan pre-order piringan hitam tersebut—pertanda antusiasme lintas negara.
Dari New York untuk Dunia
Seluruh proses kurasi, digitalisasi-analog, hingga distribusi dikerjakan di New York, dipimpin oleh Naratama, creative director yang bertindak sebagai co-producer.
“Kami sedang memproses distribusi untuk pasar Indonesia,” ujarnya. Ia berharap langkah ini menjadi jalan pembuka bagi musisi Indonesia lainnya untuk memasuki pasar Amerika.
Dan pada malam itu di Brooklyn, ketika jarum turntable berhenti berputar, dunia mencatat sesuatu: suara yang lahir dari gang-gang Surabaya kini menggema sampai Amerika. Seolah membisikkan bahwa musik tak mengenal usia—ia hanya menunggu seseorang menyalakan kembali lampu panggungnya.
Penulis dan sumber: Digicora Musik New York
