Anugerah Spesial FFW 2025: Barometer Baru Estetika Film Indonesia

Urbannews | Di tengah denyut kota Jakarta yang tak pernah tidur, Sabtu sore itu—11 Oktober 2025—sekelompok juri duduk dalam satu ruangan. Mereka bukan sekadar menilai film, tapi tengah mengemban amanah: menakar estetika, mengukur makna, dan meneguhkan kembali harkat sinema sebagai karya budaya. Maka lahirlah satu keputusan penting dari ruang itu—keputusan yang bisa mengubah arah pandang publik terhadap film Indonesia.

Festival Film Wartawan (FFW) 2025, yang saban tahun hadir sebagai wadah apresiasi para jurnalis terhadap film, kini menambahkan satu penghargaan istimewa. Bukan sekadar piala biasa, melainkan sebuah anugerah, yang diberi nama panjang: “Ikhtiar Capaian Puncak Estetika Film Indonesia.”

Sebuah frasa yang menggugah, nyaris puitis. Namun, lebih dari sekadar simbol, penghargaan ini adalah pernyataan sikap.

“Ini lahir dari independensi juri. Sebuah upaya mengembalikan kemuliaan festival film pada asasnya,” ujar Benny Benke, Ketua FFW, dengan suara tenang namun penuh makna.

Anugerah ini berdiri berdampingan dengan Piala Gunungan—yang telah lama menjadi simbol penghargaan genre seperti drama, komedi, hingga horor. Namun ia tampil sebagai penanda lain, penanda arah baru: bahwa film tak hanya bisa dinikmati, tapi juga diselami, dihargai dari sisi estetika, sosial, dan intelektualnya.

Lima nama besar kini memegang amanah sebagai Juri Akhir: Dr. Nurman Hakim, Lola Amaria, Akhlis Suryapati, Adisurya Abdy, dan Firman Bintang. Mereka bukan hanya mewakili selera, tapi juga membawa kerangka pikir dari dunia yang berbeda—dunia film sebagai seni, sebagai industri, sebagai sarana komunikasi, bahkan sebagai pengetahuan.

Proses penilaian pun bukan sekadar menonton dalam sunyi. Film-film terpilih akan diputar di bioskop untuk ditonton bersama, sebelum diskusi panjang dan rapat mendalam digelar. Dan di sanalah keputusan diambil—bukan dari suara terbanyak, tapi dari debat, dari adu argumentasi yang tajam sekaligus penuh hormat.

“Penghargaan ini tidak akan lahir dari selera semata,” ujar Benny. “Tapi dari dialog. Dari tanggung jawab kepada publik: mengapa film ini dianggap sebagai capaian estetika tertinggi?”

Lebih dari sekadar ajang selebrasi, FFW 2025 kini menjelma sebagai ruang kontemplasi. Sebuah ruang untuk mengingatkan bahwa film Indonesia bukan hanya tumbuh sebagai industri, tapi juga sebagai ekspresi jiwa bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *